empatbelas.

197 10 1
                                    

Faza masih terdiam lesu di depan televisi.

"Ahilah, tv tuh dianggurin. Buang-buang listrik lu," oceh Ano sambil menubruk sofa di sebelah Faza. Dengan itu, Faza bangun. "Idih, najis. Parah gila. Emang gue semenjijikan itu kah?" Tanya Ano dengan wajah bloon.

"Gue ada telepon, biasa, sibuk." Canda Faza sebelum menerima panggilan di ponselnya.

"Oh, yaudah. Boleh tuh,"

"...."

"Sip. Gue ke sana sekarang."

Faza menyudahi panggilannya.

"Siapa tuh?" Tanya Ano. Memang dasar, manusia kepo. "Ah, gelar lo banyak ya. Pangeran kw sejuta, tukang kipak, manusia kepo. Banyak tuh." Ujar Faza.

***

Jadi lah Faza menunggu di salah satu restoran di bilangan Tebet. Di sini lah Dimas mengajaknya bertemu. Tapi, sudah limabelas menit lamanya gadis itu menunggu, Dimas tak kunjung muncul.

"Dimas mana lagi," gumam Faza malas. Sungguh, Ia sedang tidak napsu untuk menunggu. Terlebih lagi, Ia sendirian dan menatap kosong minumannya sambil sesekali melirik ponselnya. Persis macam jones.

Gadis itu sudah menerka sejak lima menit yang lalu, kalau pertemuan mereka 75% gagal. Faza akhirnya memutuskan untuk me-LINE Dimas. Membatalkan pertemuannya.

Di sisi lain, Dimas bersyukur Faza membatalkannya. Karena, ada jadwal dadakan yang harus ia lakukan. Tapi tetap. Ia merasa bersalah.

Faza sudah yang sudah lelah memutuskan untuk pulang. Ia bahkan sudah terlalu malas untuk berjalan kembali ke mobil. Ditambah Ia harus mengendarainya pulang.

Tidak ada yang bisa dijadikan pemicu kenaikan moodnya saat ini. Kecuali, ada seseorang yang bisa membuatnya lebih baik. Walaupun moodnya masih jelek. Lina.

Langsung saja Faza mengontak Lina via SMS. Katakan saja supaya Ia terlihat modal. Hey, BBM, LINE, Whatsapp, itu semua gratis. Sedangkan SMS? Memotong pulsa.

---

Faza:

Linaa, ah anjir. Mood gue lagi jeleek! Ke rumah gue, dongg.

---

---

Lina:

Ew, sok modal lu. Segala pake SMS. Udah tau pulsa gue krisis.

Yew, gue ke sana sekarang.

---

Kalau boleh jujur, Lina adalah sahabat idaman. Ia selalu ada kapan pun, dimana pun.

***

Seperti sahabat pada umumnya, mereka mengobrol tentang segala hal. Bahkan hal tidak penting sekalipun. Setidaknya, Faza berhutang banyak terimakasih pada Lina yang sudah membangkitkan moodnya.

Sepulangnya Lina, Faza langsung terdiam. Pikiranya kosong.

***

FAZA

Ah, lama-lama gue bisa gila.

Ngehindar, lari, ngumpet. Halah,

Gue mesti ngapain lagi? Gue udah bingung sama gue sendiri.

Dengan pikiran macam-macam, gue guling-gulingan di kasur.

"Ih, gila. Guling-gulingan ga jelas. Lo uring-uringan mulu. Capek gue liatnya." Kak Ano memberi jeda, "Gara-gara Reza?" Tanyanya.

Sial.

"Gatau ah," jawab gue asal. Ahilah, denger namanya aja, gue udah pusing.

Setiap ngeliat Reza, gue langsung aja ngambil langkah seribu, cabut ke tempat tongkrongan baru gue. Rooftop sekolah. Belom banyak yang tau, sih rooftop bisa di tongkrongin. Tapi, tetep. Banyak pasangan manusia disana. Gue kadang suka makan hati ngeliatnya.

***

Setiap waktu istirahat, disini lah gue sekarang. Gue udah jarang ke kantin. Antisipasi aja, nanti ketemu dia.

Gue juga kesel, kenapa gue jadi penakut gini. Gajelas, sumpah. Tapi gue ga tau. Ah, ribet deh.

Bel masuk akan berbunyi 5 menit lagi. Gue harus balik ke kelas sekarang.

"Selamat siang, anak-anak!" Sapa Bu Sari, "Siang, Bu," balas murid-murid. Pintu diketuk.

"Misi, Bu, ini tadi buku-buku ibu," ujar seorang murid laki-laki. Gue gatau siapa karena, gue lagi sibuk bengong. Suaranya familiar. Gue langsung mendongak, "Eh, iya, Nak Reza, tolong taruh di meja ibu." Jawab Bu Sari.

Aduh, rasanya gue pengen garuk meja. Sekarang. Sekarang juga.

Mata kita bertemu. Dan terkunci beberapa detik. Tiba-tiba, Reza berbicara kepada Bu Sari, kemudian Beliau mengangguk. Perasaan gue ga enak.

"Fazzahra, silahkan ikut bersama Reza," perintah Bu Sari. Gue nyaris lompat kaget. Gue merinding. Badan gue dingin. Gue melirik Lina yang sedang menatap gue iba.

Gue menarik napas sebelum berjalan keluar kelas.

Ngeliat dia lagi, dunia gue berasa kebalik.

Tapi, mengingat kejadian waktu itu, seakan gue dihimpit di antara dua batu besar.

"Kenapa?" Tanya gue sambil menatap lurus sepatu gue. Gue gak berani ngeliat dia.

"Harusnya gue yang nanya kenapa," ucapnya sambil ngeliatin gue yang masih terpaku pada sepatu gue.

Gue diem.

Hening.

"Faza, kenapa?" Tanya Reza sambil mengangkat dagu gue. "Liat gue." Tegasnya saat gue kembali melirik sepatu.

"Lo nggak seharusnya, bawa gue cabut dari kelas." Ujar gue.

"Faza, lo itu mulai aneh. Lo kenapa?" Tanya Reza lagi.

Gue juga nggak tau, Rez.

"Faza Bilang ke gue, lo kenapa?" Nada bicara Reza mulai naik. Dia terus mendesak gue buat jawab. Gue tetap bungkam.

Sampai kepertanyaannya yang kesekian kali, gue mulai terisak. Gue sendiri ga tau gue kenapa. Tolongg, siapa punn!

***

AUTHOR'S POV

Reza langsung mendekap gadis itu, "Maaf," ucapnya. Tangis gadis itu pecah.

"Rez, gue nggak tau kenapa, tapi gue," gadis itu masih bingung. "Gue ga suka liat lo sama cewek itu," lanjutnya. Reza menerawang. Mencoba menebak siapa gadis yang dimaksud Faza.

Pffttt ... pasti yang dia maksud Ola. Batin Reza.

Keduanya merasakan desiran hangat yang sama.

"Gue sayang kok sama lo," potong Reza.

***

Minggu, 3 Mei 2015.

Say you like meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang