tujuhbelas.

118 9 1
                                    

*tin.. tin..*

Suara klakson dua kali membuat Faza berlari kesetanan keluar. Tapi, sempat-sempatnya, ia meledek kakaknya yang mencoba untuk belajar di ruang tengah.

***

Sungguh. Faza tidak mengira.. ini.. bahkan ia tidak bisa memprediksi ini akan terjadi. Iya. Mereka melakukan movie marathon.

Di rumah?

Bukan.

Di bioskop.

Faza menggelengkan kepala tidak kuat atas kelakuan Dimas. Ia sudah membeli tiket untuk empat film ke depan yang beruntun.

"Dimas Satya." Mungkin sudah lebih dari lima kali ia mengulang nama Dimas. Kemudian gadis itu menghela napas. Tak bisa tertawa atas kekonyolan err--temannya ini. "Dimas freaking Satya! Lo udah gilaaa!" Cela Faza lalu mulai tertawa.

"Duh, gue sampe nangis. Terhura." Ucap Faza. Dimas memasang wajah polos.

"Kenapa sih, Za? Lo nggak pernah movie marathon sama orang ganteng, ya?" Tanyanya narsis.

"Serah lo. Tapi, aduh gila. Gue ga kuat mau ketawa. Plis, Di." Kekeh Faza.

"Eh, itung-itung pengalaman baru yang greget lah, Za. Hehe."

Faza tak sabar menceritakan kekonyolan Dimas pada Lina.

"Dimas, Dimas. Lo lawak abis." Ujar Faza sambil menahan perutnya yang sakit karena tertawa tanpa suara sejak tadi. Dimas menatap Faza, yang sepersekian detik kemudian membuat keadaan menjadi canggung. Dan, seperti biasa, mereka berujung mentertawai wajah konyol masing-masing.

"Pintu Teater dua--" suara seorang wanita yang familiar bagi orang yang suka menonton film di bioskop terdengar ke seluruh penjuru bioskop. "Eh, kita film pertama kan Teater dua, yuk." Ajak Dimas. Wajah Faza beralih pucat mengingat film pertamanya adalah film horor yang sadis.

Saat tepat di adegan pembunuhan sadis tak bersensor, suasana teater berubah mencekam. Terdengar teriakan dari beberapa penonton, sedangkan Faza terbelalak dan berubah pucat. Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Dimas sendiri malah terkekeh karena menurutnya, adegan itu lucu.

Hey, apakah dia sudah gila?

"Di, lo gila! Film tadi itu super sadis, dan elo cuman ngakak ga jelas? Di, otak lo udah geser!" Cela Faza dengan wajah horor.

"Ahaha, muka lo pucet abis, Za. Maaf, maaf, lain kali kita jangan nonton film gituan lagi deh." Ujar Dimas sedikit bersalah.

"Eh, nggak papa kok, selo aja. Tunggu-tunggu, berarti lo mau nonton lagi sama gue dong? Sampe pake kata lain kali." Sorak Faza narsis. Kali ini gantian. Ia juga bisa menarsiskan diri. Dimas mengernyit dengan mimik panik. Mencari alibi yang tepat.

"Lah, iya, emang kita mau nonton lagi. Kan masih ada tiga film lagi. Gimana sih," ujar Dimas. Yang sontak membuat Faza gagal menarsiskan diri. "Yaudah, yuk masuk. Udah banyak yang ngantri masuk tuh." Ajak Dimas, yang sedang melihat sesuatu. Ia memicingkan matanya. Memastikan siapa pemuda yang sedang barsama seorang gadis mengantri untuk membeli tiket.

"Reza," gumamnya pelan.

***

"Reza, lo harus temenin gue jalan. Ga mau tau. Atau lo tau akibatnya!" Ancam Stella lewat sambungan telepon. Reza mendengus. "Gue jemput lo sekarang." Ujarnya gondok.

Akhirnya, mereka--Stella--memutuskan untuk pergi menonton film yang baru saja rilis di bioskop. Tapi ternyata, untuk membeli tiketnya, mereka harus rela mengantri panjang. Reza sendiri sudah mengutuk Stella dan dirinya yang menurutnya bodoh.

Say you like meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang