Telepon yang baru saja didapat oleh Faza membuatnya panik dan segera berlari menuju mobilnya. Bagaimana tidak? Kakaknya, Ano mengalami kecelakaan saat berangkat ke sekolah.
"Bego! Ano! Ah. Harusnya tadi pagi gue ajak dia bareng! Sial!" Ujar Faza sambil terus berlari sampai ia menabrak orang.
"Woi, selo, Za. Kenapa, sih?" Tanya Reza, "Tolong bilangin Lina, gue izin sampe istirahat pertama atau kedua, gue gatau. Pokoknya tolong bilang gue izin, ya. Makasih." Ucap Faza lalu berlari lagi.
Faza memakai bakat terpendamnya, mengebut.
Sesampainya di rumah sakit, Faza langsung menuju ke kamar rawat kakaknya.
"Ih, lu gimana sih, Kak. Bisa gini?" Tanya Faza dengan napas yang terengah-engah.
Ano terbaring di kasur rumah sakit dengan keadaan yang cukup mengenaskan dengan plester di kening, tangan dan kaki yang diperban. Dan masih belum sadarkan diri. "Kebanyakan gaya sih, lo, ah." Tambah Faza.
Orangtua mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit karena letak kantor mereka cukup jauh dari rumah sakit dimana Ano berada.
Tidak lama kemudian, seorang suster masuk, "Permisi, ini nanti obatnya, ya, mba..." ujar si suster lembut, Faza mengangguk dengan senyum kecil.
Faza masih terdiam di sofa dengan cemas menunggu kakaknya sadarkan diri. Sesekali ia mondar-mandir di kamar rawat Ano. Tepat saat Faza hendak duduk kembali, Ano membuka matanya.
"Akhirnya, kak! Gila lo ya! Bikin orang panik! Sumpah!" Oceh Faza masih dengan nada penuh kecemasan. Sedangkan Ano melirik Faza dengan lemah.
"Ish, ish. Gatau orang lagi sakit ya! Malah berisik lu." Protes Ano yang membuat Faza terbelalak. "Kampret. Gila lo dasar!" Ucap Faza mulai geregetan untuk memukul kakaknya ini. Tapi apa daya, ia tak tega menganiaya kakaknya yang masih lemah begini.
Tak lama, orangtua mereka sampai di rumah sakit. Sedangkan Faza izin untuk pergi ke kantin rumah sakit.
Saat ia sedang duduk sambil meminum jus alpukatnya, seseorang menepuk bahunya.
"Faza?" Tanya seorang lelaki dengan nada tidak yakin.
"Aish, Bima! Gila, Bim, udah lama ga ketemu!" Seru Faza dengan senyum sambil mulai bernostaligia.
Dulu, Bima membantu temannya--Ais untuk mendapatkan hati Faza. Banyak hal yang dilakukan Bima untuk membantu Ais. Bahkan sampai Faza lebih tertarik pada Bima dibanding dengan Ais. Tetapi, waktu itu Bima sedang menyukai teman dekat Faza. Tentunya Bima tidak tahu tentang ini.
"Ah, Bim. Lo dulu musuh gue banget gila. Gue inget banget dulu lo pengen nyodok gue pake tongkat pramuka!" Ujar Faza, "Yeee, yaudah si. Itukan dulu. Eiya gue udah ada pacar loh." Pamer Bima.
"Bodoamaat, pamer amat najis. Geli, ew." Cibir Faza, "Yaiyalah! Dulu gue belom pernah pacaran! Pacar pertama gue nih. Emang lo mantan sekarung. Eh, lebih kali." Bela Bima.
"Ga gitu, Bim. Ga gitu. Sekarung palelo botak!"
Mereka terlarut dalam obrolan mereka yang kadang mulai tak tahu kemana arahnya, alias ngalor-ngidul.
Dari mulai meneliti tinggi badan mereka yang sekarang terpaut jauh, rambut Bima yang berbeda model, temperatur kantin rumah sakit, bahkan sampai cicak di dinding ikut jadi topiknya.
Memang dari dulu mereka tidak akur karena Bima sering melakukan hal yang tidak wajar pada Faza. Tapi bukan berarti mereka musuh akut. Dulu mereka mengikuti kelompok jurnalis bersama di Sekolah Dasar dan eskul Basket di SMP. Banyak kesamaan yang dimiliki mereka membuat mereka memiliki koneksi satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Say you like me
Teen FictionGue punya dua pilihan. Membuka lembaran baru, atau memberi kesempatan. Copyright © 2014 by neovale