sembilanbelas.

204 9 2
                                    

"Kakak, ayo dong, Kak gantengnya udah nungguin, tuh!" Ujar Izan tak sabar pada seorang gadis yang terbalut dengan gaun putih selutut dan rambut bergelombang yang tergerai indah. "Sabaar, Izaan." Sahutnya.

"Hai, Kakak ganteng! Kita udah siap!" Seru Izan menggebu-gebu pada Dimas yang sudah duduk manis di kursi tamu. "Okedeh, jagoan! Yuk berangkat," jawab Dimas dengan nada semangat seraya mengacak rambut Izan.

Faza yang menyaksikan kejadian itu tersenyum kecil.

Saat baru membuka mobil, Izan langsung membuka pintu penumpang belakang mobil. Faza mengernyit. Biasanya Izan selalu menginginkan untuk duduk di depan.

"Izan, kok tumben nggak duduk di depan?" Tanya Faza halus.

Dengan polos, Izan menjawab, "Ngga apa-apa, Kak. Kan biar Kakak sama Kak ganteng di depan. Pacaran, ahahaha," ujar Izan disusul dengan tawa cempreng khas anak kecil.

Dimas ikut tertawa sedangkan Faza tercengang kikuk.

Ya Tuhan. Kenapa hamba dikaruniai adik yang seperti ini, Tuhan? Batin Faza stres sebelum menutup pintu mobil.

Sedangkan satu orang lagi memperhatikan mereka dari balkon kamarnya sambil mengepalkan tangannya. Di antara menyesal dan kesal. Itulah yang dirasakan Reza sekarang.

"Gue kurang bego apalagi, coba." Umpatnya.

"Yah ilah, lo sih geblek. Udah tau terlanjur sayang. Ditinggal tanpa kepastian. Toidi." Tanggap Erzet yang memang menginap di rumah Reza. "Berasakan nyesek. Gue juga udah pernah begitu," lanjutnya.

"Ini nih emang Stella, anjir." Gumamnya. "Jangan nyalahin orang. Salah lo sendiri ikutan mainan begituan sama nenek sihir gondrong." Timpal Erzet.

Tiba-tiba, Erzet sudah berbicara dengan seseorang lewat ponselnya.

"Halo, Faza," sapanya ceria. Reza terbelalak sebelum menatap Erzet kepo.

"Iya, kenapa, Zet?"

"Lo dimana?" Tanya Erzet sambil mengaktifkan mode speaker.

"Gue di jalan, mau ke ulang tahunnya adek sepupu Dimas."

"Ooh, oke. Gue sebenernya tadi mau nanya apa ya? Gue lupa, hehe. Ya udah gitu aja, ya. Dadah Faza." Ujarnya.

"Yeeeu, iri kan lo gue telponan sama Faza, wkwk." Seru Erzet penuh kemenangan. Reza refleks mendengus mendengarnya.

***

Mobil Dimas berjalan perlahan ke sebuah taman yang luas dengan hiasan warna-warni berwarna pastel. "Ih, lucu parah." Puji Faza saat berjalan keluar dan melihat dekorasi taman tersebut.

Mereka bertiga berjalan menyusuri jalanan yang cukup panjang sebelum mendapati kerumunan anak-anak kecil dan orang tuanya masing-masing. Faza dan Dimas mengernyit dalam sebelum saling menatap dan tertawa tertahan.

"Gue nggak nyesel ngajak lo ke sini." Simpulnya langsung. Tidak lama, Izan sudah absen ke dalam rombongan anak-anak kecil yang bermain di wahana mini yang sudah disediakan.

Faza dan Dimas hanya duduk-duduk sambil membicarakan keadaan di sekitarnya.

Sampai ada seorang wanita paruh baya menghampiri mereka. "Dimaas, ih, sombongnya kamu sekaraang." Ujarnya.

"Hehe, nggak kok, Tan," jawab Dimas sambil menggaruk tengkuknya.

"Haish, Dimas, punya pacar ya?" Tanya Tantenya semangat.

"E--enggak, bukan.. ini.. dia temen aku, Tan," jawab Dimas gelagapan. "Ih, udah pintar bohong.. ya udah deh, tante ke sana dulu, ya." Ujar Tante Dimas lalu pergi.

Dimas menghela napas keras. "Haduh. Bahaya." Ujarnya. Faza tertawa. "Lah elo kenapa ketawa lagi?" Tanya Dimas.

"Harusnya muka lo pas salting gue videoin, tau nggak? Kocak banget, Di." Jelas Faza. Sebelum seorang wanita paruh baya datang. Yang kali ini Faza ketahui sebagai mamanya Dimas.

Dimas langsung bangun dan menyalimi mamanya. Begitu pun Faza sambil mengucapkan, "Eh, Tan," dengan senyum. Diana--mama Dimas--juga memberi senyuman pada Faza. "Nama kamu siapa, Nak? Jarang-jarang loh, Dimas bawa perempuan." Tanyanya ramah.

"Faza, Tante.."

"Wah, wah, Nak, ini Faza yang sering kamu itu, yah? Cantik, Mas. Sopan. Persis seperti di cerita kamu." Jelas Diana senang. Diam-diam, Dimas sudah mengalihkan wajahnya yang sudah memerah. Malu.

"Wah, masa sih, Tan? Dimas sering cerita-cerita tentang aku? Yang aneh-aneh ya?" Tanya Faza penasaran. Sontak Diana menggeleng. "Waduh, ceritanya bagus-bagus." Jawabnya. Wajah Dimas kian memerah. Begitu pun Faza.

Faza dan Diana langsung akrab di pertemuan pertama. Entah mengapa, Dimas menjadi senang.

"Wah, kamu Faza yang waktu itu ikutan lomba akustik kan?" Tanya seorang pria kali ini. "Ehehe, iya, Om.." jawab Faza.

"Iya, Om, yang waktu itu Om kasih liat videonya ke aku. Yang juara satu!" Tambah Dimas semangat.

"Adoh, Dimas yaa, semangat banget. Kamu naksir sama Faza yo?" Ledek Om Yudi. Kedua muda-mudi itu tersipu.

"Hahaha, ya ampun, anak muda ... ya sudah. Eh iya, panggung kosong tuh, isi, gih." Pinta Om Yudi.

Ya Allah. Cobaan macam apa ini ... kena lagi deh gue. Batin Faza yang sedang memaksakan senyumnya. Sedangkan Dimas sudah bersiap untuk menarik Faza.

Setelah menghembus napas berat dan memberikan tatapan yang seolah berkata 'tidak mau' kepada Dimas, akhirnya Faza menyerah dan naik ke atas panggung.

***

"Keren, Za! Asik, asik!" Puji Dimas. Seperti gadis pada umumnya, setelah dipuji Faza tersipu malu. Bahkan pipinya bersemu merah.

"Nggak lah, biasa aja. Elo kali yang keren." Bantah Faza. "Pala batu." Cibir Dimas.

Setelah itu, mereka terus melanjutkan aksi ceng-cengan satu sama lain. Kata-kata ajaib nan tidak masuk akal tersebut berhenti mereka lontarkan saat Izan menghampiri mereka.

"Haai, Kakak-kakak!" Sapanya dengan senyuman cerah. Faza dan Dimas turut merasakan atmosfer kegembiraan milik Izan, sehingga mereka ikut tersenyum dan membalas sapaan Izan.

Tak lama, Izan kembali berlari menuju segerombolan anak kecil. Meninggalkan sepasang remaja larut dalam topik pembicaraan mereka. Semacam memiliki dunia sendiri

***

Minggu, 7 Juni 2015.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Say you like meTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang