ii. skateboard

256 46 4
                                    

Aku mengerjap silau ketika sinar lembut itu menelusup masuk melalui jendela dengan indra penglihatanku sebagai targetnya. Aku menguap malas, kemudian mulai merenggangkan tubuh disusul erangan nikmat.

"What a day," ujarku sambil tersenyum. Tidur yang luar biasa nyenyak!

Aku menggaruk kepala tanpa berniat merapihkan rambut hitam sepunggung ini. Piama terasa lembut membungkus kulit, membuatku tersenyum tidak jelas.

Suasana hatiku benar-benar baik!

Kaki tanpa alas ini menyentuh lantai kayu yang dingin, lantas bergerak menelusuri lorong menuju ruang makan atau lebih tepatnya mengikuti aroma menggiurkan. Aku menyembulkan kepala dari balik dinding, lalu memperlebar senyum melihat orang yang kutunggu sejak kemarin sedang duduk menyantap sarapan.

Berhubung anak itu memunggungiku, aku mengendap-endap mendekat dan menepuk kedua bahunya sambil berseru. "Ohayou!"

Miya tentu saja berjengit kaget. Namun, alih-alih menoleh garang dan protes. Bocah itu hanya menatap singkat nan datar, kemudian kembali fokus menghabiskan sarapan.

Aku berkacak pinggang di belakangnya. "Mengabaikanku, huh?"

Tanganku terangkat mengacak rambutnya dengan tenaga besar. "Begitukah sambutan paling layak yang kau punya?" tanyaku agresif.

Miya akhirnya bersuara, merengek tidak suka. "Hentikanlah!"

"Kau harus diberi pelajaran," ujarku kemudian melepas serangan itu dan mendudukkan diri di sebelahnya.

"Kau kapan kembali?" tanyanya, melirikku kecil.

"Kemarin. Kau bahkan tidak tahu, kan, kapan aku pulang," dengusku tidak terima.

"Aku sibuk." Anak itu menjawab.

"Skating things again?" tanyaku sedikit malas.

"Ya, kenapa?"

"Ayolah, kau masih anak kecil. Mewawancaraimu setiap hari itu terlalu berlebihan. Tidakkah mereka sadar umurmu masih 12 tahun?" cerocosku sebal.

"Aku tidak keberatan. Lagi pula, kau juga begitu," balasnya sambil menatapku.

Aku tertawa sinis kemudian menangkup pipinya--lembut. "Bersenang-senang. Itu yang utama, kau mengerti?" Miya memutar bola matanya malas, namun tetap mengiakan ucapanku. "Dan soal Takashi, biar kuurus dia."

Aku menurunkan tanganku, meraih sendok lalu mulai menyuapi apa yang dibutuhkan mulut dan perutku.

" ... tahu dari mana?"

"Hm?" Aku menatapnya bingung. Suaranya begitu kecil seperti bisikan, belum lagi dengan kepalanya yang tertunduk, dan telingaku yang payah.

Aku menyuapi mulutku sesendok lagi sambil menunggu respon darinya. Tapi, aku malah terkesiap ketika sorot mata itu bertemu dengan milikku. "Kau tahu dari mana?" tanyanya lagi dengan suara meninggi.

Aku menghembuskan napas. "Sebelum berangkat, aku menyempatkan diri untuk menemuimu--"

"Tapi nyatanya tidak." Ia memotong sinis, delikan tajam itu berhasil membuat hatiku mencelus.

"Miya, dengar," Aku balas menatapnya intens. "Kau manusia, adikku, layak mendapat yang lebih baik--"

"Dasar, slime," gumamnya membuat mataku membulat. Miya bangkit dari duduknya lalu melangkah pergi, aku menganga tidak percaya. "Hei ...!"

Wah, anak itu. Benar-benar.

Aku meniup poniku yang belum kurapihkan sejak bangun, memutuskan untuk fokus menghabiskan sarapan sebelum menyusulnya pergi.

game over ; sk8 the infinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang