iii. the chinen siblings

205 42 1
                                    

Menyeruput Mochaccino panas yang tersisa setengah, aku berdiri di pinggir lapangan bersama para wartawan dan pemain lainnya. Ya, menonton Miya berlatih bak salah satu penggemarnya.

"Hei, lihat. Gadis itu mirip sekali dengan Chinen," bisik seseorang, menarik perhatianku.

"Siapa saja bisa memiliki rambut hitam, bodoh!" balas temannya.

Aku hanya bisa tersenyum miring, sebelum melempar delikan singkat yang berhasil membuat mereka terdiam.

"Benar, gadis itu mirip sekali. Mungkinkah mereka bersaudara?" tanya teman lainnya.

"Tunggu, wajahnya cukup familier ...."

Percakapan itu mulai terdengar samar karena kehebohan yang terjadi. Miya yang melakukan trik berdiri di atas papan dengan kedua tangannya, dan dua papan meluncur tepat ke arahnya ... yang dengan lihainya berhasil dihindari oleh bocah itu.

Astaga, itu keren, memang. Tapi, apa-apaan serangan tadi?!

Keningku mengerut kesal. "Hei, itu bahaya tahu!" seruku tak terima. Dua anak itu menatapku kesal, lalu berdecih.

"Cih?!" ulangku kesal.

"Permisi, Chinen Misaki!" Seorang wartawan tiba-tiba berdiri di sebelahku sambil menyodorkan miknya. Aku hampir menumpahkan kopiku dan menjatuhkan diri karenanya.

"A-apa ini?" tanyaku sambil berjengit mundur.

"Sejak kapan kau kembali ke Jepang? Apa benar kau tidak akan mengikuti turnamen skateboard lagi? Lalu, bagaimana tanggapanmu tentang adikmu, Chinen Miya, dan prestasinya? Apakah itu membuatmu bernostalgia dengan dirimu yang dulu?"

Hah?

Adalah kata tanya paling pas yang kumiliki, tapi tak pernah bisa digunakan karena hanya akan membuatku terlihat bodoh.

"Nee-chan tidak suka jika diwawancara tanpa rencana," sahut Miya lugas.

Menghampiriku dengan santainya, membuat sorot kamera berpindah padanya.

Ia berdiri di sebelahku. "Jadi kalian bisa mewawancaraiku sebagai gantinya," sambungnya sambil tersenyum manis, penuh kepalsuan.

Miya lantas mendekat dan berbisik. "Jaga reputasimu dan aku."

Anak itu tersenyum lagi sebelum akhirnya menuntun para wartawan pergi.

Aku tertawa pelan, tidak percaya. Ada rasa nyeri tersendiri ketika melihatnya bertingkah seperti itu.

"Benar, kan? Itu kakak perempuannya,"

"Menurutmu permainan skate-nya sebagus Miya tidak?"

"Tentu saja. Misaki hampir menjadi perwakilan Jepang diumur yang sama dengan adiknya. Tapi, dia memilih mundur dan pergi ke Amerika."

Ah, suara-suara itu lagi.

Aku mendelik tidak suka, kemudian melangkah pergi. Mengikis jarak antara aku dengan Miya, sekaligus mencipta ruang antara aku dengan suara-suara itu.

game over ; sk8 the infinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang