xiii. elucidation

97 27 3
                                    

Mereka semua ikut merasakannya. Ketegangan yang tercipta melalui tatapan tajam Miya padaku.

Kojiro berdeham, "Aku harus segera pergi. Restoranku tak bisa ditinggal lama-lama." Ia pun bangkit berdiri.

Kaoru mengikutinya. "Aku juga harus menemui seorang klien ... Carla, berapa lama lagi?" tanyanya, mengundang tanda tanya di kepala kami berlima.

"30 menit dari sekarang, Master," sahut Carla membuatku terkejut.

Aku juga berdiri. "Biar kuantar," ujarku sembari buru-buru meninggalkan ruangan. Tak memberi Miya kesempatan untuk menahanku.

Aku bahkan nyaris jatuh menyandung kakiku sendiri. Beruntung kami tiba di depan pintu lebih cepat dari yang kuduga.

"Kau sudah baik-baik saja, kan?" tanya Kaoru dengan kekhawatiran yang tercetak jelas.

Aku mengangguk. "Reputasiku mungkin sudah rusak. Namun, selebihnya, kurasa aku baik-baik saja."

"Mengenai itu ...." Kojiro menyahut. "tak ada artikel atau berita apapun tentang malam itu, selain wawancaramu."

Kaoru mengangguk setuju selagi bersidekap. "Kuakui, Shindou masih cukup waras untuk tidak menghancurkan karirnya."

Mendengar itu, aku langsung menghembuskan napas lega, "Berarti, sekarang, tinggal meluruskannya dengan Miya," gumamku dengan perasaan cemas yang telah berkurang jauh.

Kaoru dan Kojiro nampaknya ingin menanyakan sesuatu. Namun, mereka berakhir memilih maju dan berdesakkan di depan pintu-untuk menggunakan sepatu.

"Menyingkir kau, Panda." Kaoru menyikut Kojiro.

Kojiro balas mendorongnya. "Kau yang keluar sana, Maniak Robot."

Aku tertawa kecil melihat mereka, lantas maju melerai dan membuka pintu. "Nah, silahkan," tuturku sambil tersenyum manis.

Kaoru menginjak kaki Kojiro lalu berjalan keluar, mengabaikan protes Kojiroㅡyang dengan segera menyusulnya.

Mereka kembali bertengkar dalam perjalanan menuju pintu gerbang.

"Oh, Kaoru-chan!" panggilku cepat, sebelum jaraknya semakin jauh.

Ia menoleh dengan tatapan aneh, "Kaoru-chan? Apa maumu?" tanyanya, terdengar angkuh di telingaku.

Aku tersenyum masam, "Hanya ingin berterima kasih atas pelukmu semalam." Aku bersidekap. "Namun, sepertinya kau tidak suka. Jadi, ya, sudah, lupakan." Aku berbalik menutup pintu dan kembali ke ruang makan, dengan alis tertekuk dan kaki yang menghentak kesal.

Apa maumu? Cih, seperti dia memiliki sesuatu saja untuk ditawarkan.

"... taruhannya akan kuberitahu nanti." Suara Miya terdengar samar.

Wajahku perlahan kembali berubah penasaran, "Taruhan apa?" tanyaku dengan alis terangkat sebelah.

"Beef-ku dengan Nii-san tentunya," jawab Miya tanpa berusaha terdengar ramah.

"Kau masih ingin melakukannya?" tanyaku tak habis pikir.

"Bukankah lebih masuk akal begitu? Aku tidak memiliki alasan untuk membatalkannya," jawab Miya santai. Membuatku semakin kesal karena apa yang dia ucapkan itu benar, aku sendiri tidak bisa menyangkalnya.

"Jika, dibatalkan ... aku yang akan menantangmu," sahut Langa sembari menatap Miya ... penuh binar.

"Dengar?" Miya menatapku sambil menyeringai puas. "Lagi pula, bukankah kau berhutang penjelasan padaku?" tanyanya, kali ini dengan raut wajah yang telah berubah 180 derajat.

"Benar, kami juga ingin tahu," tutur Reki padaku.

Miya menoleh ke arahnya. "Tidak, kalian berdua pulang saja, sana!"

Reki beralih ke arahnya dengan kening mengerut. "Memangnya kenapa? Cherry dan Joe memanggil kami ke sini, tahu. Itu artinya kami juga layak mendapat jawaban," balas Reki sengit. "Iya, kan, Misaki?" Lantas kembali menatapku.

Langa juga ikut mengangguk setuju.

"Tidak, kita ini berbeda kasta. Pulanglah," usir Miya tak peduli.

Dalam waktu singkat, mereka berdua pun terlibat adu mulut dengan Langa yang terdiam menatapku bingung-karena terjebak di antaranya.

Aku menepuk tanganku dua kali. "Baiklah. Dengar," sahutku sembari memandangi mereka berdua. "Untuk Reki dan Langa, apa kalian ingat agenda akhir pekan kita, hari ini?" tanyaku memastikan.

"Makan-makan," jawab Langa, lagi-lagi penuh binar, meski tatapan dan intonasinya bergaung datar.

Aku tersenyum menanggapinya, "Benar. Aku akan memberitahu kalian semuanya, di sana. Jadi, untuk saat ini, pulang dan bersiap-siaplah."

- - -

Kakiku bergerak memainkan papan itu tanpa niat, hanya memaju mundurkannya di tempat. Sedangkan Miya bergerak lihai di atas spine skatepark yang kami kunjungi.

Raut wajah terlihat biasa, tak banyak menunjukkan emosi-yang aku tahu saat ini, pasti sedang bercampur aduk.

Setelah mengumpulkan sedikit niat, aku pun meluncur ke arahnya. "Bukankah kau ingin bicara?" tanyaku dengan pandangan lurus, cenderung fokus pada trek ketimbang Miya sendiri.

"Kau ...." Miya akhirnya buka suara. "Baik-baik saja?"

Aku tertegun, kakiku langsung mendarat menghentikan pergerakan papan beroda itu, dan memilih menatap adikku itu.

"Tidak, tentu saja," jawabku jujur. "Adam menghancurkan kaki dan karirku. Aku tidak bisa menganggap itu sebagai angin lalu. Memaafkannya begitu saja, terasa sulit.

"Meski begitu, aku bisa apa? Urusanku dengannya sudah selesai di sana. Kalau pun itu terjadi ulang, kurasa aku benar-benar bisa mati," sambungku dengan tawa sumbang.

"Asalkan dia tidak mengganggu orang-orang yang kusayangi ... aku akan membiarkannyaㅡdengan setitik harap ia akan berubah." Aku mengulas setitik senyum tipis.

"Ah." Aku tiba-tiba teringat sesuatu. "Kau ... tidak memiliki hubungan apapun dengannya, kan?" tanyaku penuh selidik.

Miya hanya tersenyum kecil. "Tentu saja, tidak."

Aku menghela napas lega, "Kalau begitu, masalahnya sudah lurus ... atau kau masih ada pertanyaan lagi?"

"Nee-chan ..., ada niatan untuk balas dendam?" tanyanya sembari menatapku.

Dalam mode otomatis, wajahku tertekuk. "Tentu saja!" seruku berapi-api. "Aku ingin sekali memukul wajah menyebalkannya itu dengan skateboard ini, setidaknya sekali!" Aku mengayunkan papanku, memeragakannya.

"Kalau bisa juga, aku ingin menggait kakinya dan buat ia mendarat tepat di wajah!" Napasku memburu penuh emosi.

Setakut apapun aku padanya, balas dendam itu yang utama!

Sedetik setelahnya, Miya tertawa lepas.

Aku menatapnya bingung-untuk sesaat-sebelum akhirnya ikut tersenyum.

"Kau tahu, kan, itu sama saja dengan kalah lagi?"

Senyumku langsung luntur. Miya menyeringai dan menjulurkan lidahnya, lalu segera meluncur pergi.

"Kau seharusnya mendukungku, Sialan!" Aku berlari mengejarnya sambil mengangkat papanku tinggi-tinggi.

- - -
TBC

game over ; sk8 the infinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang