"Kata-katamu itu bagaikan garam fisiologis yang mempertahankan fungsi dan keadaan hatiku."
~🍁🍁🍁~
Reza bangun pagi-pagi sekali karena hari ini memang ada praktikum di lab genetika. Setelah selesai mandi, ia berniat untuk sarapan dahulu. Namun ketika di ruang makan, ternyata sudah ada ayahnya sedang duduk bersama wanita yang ia benci, membuat selera makannya mendadak hilang.
"Reza, sini! Papa ingin bicara sama kamu."
Reza yang hendak berbalik mengambil tas untuk segera berangkat ke kampus mengurungkan niatnya saat ayahnya memanggil. Karena terlanjur terlihat, Reza dengan wajah kehilangan semangat paginya menghampiri meja makan.
"Duduk!" perintah Gumelar, ayahnya.
"Ada apa, Pa? Reza ada kelas pagi sekarang" ucap Reza tak berminat duduk.
Raflesia yang sedari tadi merasa hawa dingin antara ayah-anak ini tersenyum, "Emang kamu nggak kangen sama papamu itu? Duduk dulu, sayang."
Cih, namanya aja bangke.
Ayahnya memang jarang ada di rumah sejak ibu kandungnya meninggal karena kehilangan bayak darah setelah tranfusi. Dan Beliau lebih memilih sibuk dengan profesi dokternya bahkan sering tak pulang semenjak tiga tahun lalu. Mau kapan pun ayahnya ada di rumah, Reza tak peduli. Ia sudah terbiasa dengan kesepian rumah. Reza hanyalah anak bungsu yang sudah kehilangan kehangatan semenjak ibunya pergi. Karena itulah, ia suka membuat teman-temannya nyaman dengan canda tawanya.
"Kamu masih senang dengan jurusanmu itu? Kapan pindah ke kedokteran? Semua keluarga besar kita pada ambil kedokteran. Nah sedangkan kamu, mau jadi apa kamu, hah?" tanya Gumelar.
Lagi. Sudah tak terhitung jari. Berapa kali ayahnya melontarkan pertanyaan itu.
"Kamu itu cuma satu-satunya harapan papa, Reza. Gak perlu nunggu tahun depan pun, papa bisa ajuin kamu jalur mandiri tahun ini juga."
Berapa kali ayahnya melontarkan penawaran itu. Muak.
"Udah Reza bilang, nggak mau téh ya nggak mau. Biologi itu hasil dari usaha belajar aku. Harus disyukurin dong, Pa. Lagian dari SMP juga prestasi Reza cuma di biologi, bahkan selalu juara olimpiade biologi sampai SMA. Itu udah jadi kesenanganku selama ini. Kalo masuk kedokteran, otak Reza nggak nyampe, Pa."
"Ya tinggal belajar dari sekarang. Apa susahnya--"
"Cukup, Pa. Reza kesiangan" potong Reza sambil berlalu meninggalkan ruang makan itu. Gumelar hanya mampu menghela napas beratnya dan bersiap sarapan.
"Eh kamu nggak sarapan dulu, Rez?" panggil Raflesia.
"Soal sarapan mah gampang, yang susah itu soal fisika" teriak Reza dari kejauhan.
~🍁🍁🍁~
Ternyata praktikum belum dimulai. Sedikit telat dengan jadwal yang tertera. Membuat koridor depan lab genetika sedikit ramai di pagi hari ini. Echa duduk sendirian memisahkan diri dari teman-temannya. Lagi pula, siapa yang menganggap dirinya teman lagi. Dan yang terpenting, dengan kelompok mana Echa akan bergabung?
"Cha!"
Echa tersentak dari pikirannya. Ia menoleh. Dan itu ternyata Bumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Perfect
Teen Fiction"Di dunia ini, makhluk hidup tidak mungkin ada yang sempurna Riz, semuanya punya kekurangan." -Echa Tentu, ini bukan kisah tentang bad boy, bad girl, good boy, good girl yang tiba-tiba bertemu dan berujung dipersatukan. BUKAN. Melainkan, ini kisah t...