Sore itu setelah menyelesaikan beberapa kelasnya, Echa berjalan sendirian menuju gerbang kampus. Jaraknya lumayan jauh dari gedung fakultasnya. Namun, ia tak pernah memakai sepeda atau pun motor apalagi meminta tumpangan pada teman, tentu karena Echa sekarang tak punya teman. Jika dulu, setidaknya ada Zea dan Rosa yang menemaninya berjalan kaki, jadi tidak terasa pegalnya. Ah, sungguh Echa terlihat menyedihkan sekali. Hanya gara-gara melakukan perbuatan yang menurut orang pencitraan itu, ia kehilangan sahabatnya. Sahabat macam apa itu?
Pletak!
"Ouch!" Sebuah telur busuk mendarat tepat di dahi Echa. Disusul suara tawa beberapa orang didepan sana.
"Mumpung sepi nih, gengs. Ayo serang dia lagi!" seru seseorang siap melempar telur-telur busuk itu lagi.
Hendak saja Echa ingin melawan, namun tak sempat. Echa hanya bisa memejamkan matanya dan melindungi wajahnya dengan kedua tangannya sendiri.
Pletak!
Pletak! Pletak!
Serangan bertubi-tubi itu membuat Echa meringis. Selain sakit tentu saja telur itu bau anyir. Tanpa diduga Echa merasakan sebuah tangan merengkuh kepalanya dari depan, seperti kejadian di lab. Echa berharap ini Reza, tapi anehnya dia tak bersuara sama sekali. Siapa pun itu, pasti dia berniat untuk melindunginya.
"Bagus. Serang aja dua-duanya, gengs!"
Pletak!
Pletak!
Mumpung masih dalam lindungan orang, Echa tak ingin kehilangan kesempatan. Ia segera mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi pihak keamanan kampus.
"Sial! Telurnya kurang nih!"
"Lu, sih!
Orang-orang pelempar telur itu berseteru bersamaan dengan datangnya sirine mobil petugas keamanan yang akan lewat.
"Eh, gawat! Cepet kabur!"
"Kita cabut, gengs!"
Setelah dirasa para pelempar telur itu pergi, seseorang itu melepaskan diri. Lalu tangannya bergerak-gerak seperti dirigen dengan air muka khawatir.
Barulah Echa mendongkak dengan mata melebar, "Deriz?"
Seolah mengerti apa yang ingin dikatakan Deriz, Echa memaksakan senyumnya, "Gu-gue, baik-baik aja, kok. Lo.. juga nggak apa-apa, kan?"
Echa tertegun melihat kondisi Deriz yang penuh dengan cangkang telur. Tangan nya terulur bergerak berniat membersihkan beberapa pecahan cangkang telur di rambut Deriz.
Deriz hanya bisa membeku. "Maaf ya, gara-gara gue lo jadi ikut bau begini" Echa berujar pelan.
Deriz menurunkan tangan Echa dari kepalanya dengan senyum lebar. Ia mengangkat jarinya seolah berkata 'I'm, OK'.
Echa juga meringis melihat dirinya sendiri. Ia mengusap-usap lengan baju dan rambutnya jijik. Deriz beranjak dari tempatnya menuju sepedanya. Ia mengambil sebuah jaket dari dalam tas.
"Eh?"
Di bahu Echa sudah tersampir sebuah jaket. Echa berbalik kebelakang pada Deriz yang bersiap menaiki sepedanya.
Deriz menghentikan sepedanya di samping Echa berdiri. Ia menunjuk belakang joknya dengan dagunya. Echa mengerjap.
Dikeluarkannya ponsel miliknya, lalu mengetik sederet kalimat.
Ayo, gue antar! Kalo jalan sendirian dalam kondisi seperti ini, bisa dianggap orang gila nanti.
Sebuah senyum terbit dari bibir Echa. Ia mengangguk, dan segera duduk di boncengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Impossible Perfect
Teen Fiction"Di dunia ini, makhluk hidup tidak mungkin ada yang sempurna Riz, semuanya punya kekurangan." -Echa Tentu, ini bukan kisah tentang bad boy, bad girl, good boy, good girl yang tiba-tiba bertemu dan berujung dipersatukan. BUKAN. Melainkan, ini kisah t...