The Devil #09

21.7K 1.2K 85
                                    

Gevan memiringkan kepalanya yang terasa kaku. Ia tersenyum miring. Pemandangan Vanza yang tengah menangis dengan tubuh meringkuk penuh luka membuatnya merasa senang.

"Lo baru boleh pulang besok. Denger? Kalau lo nyoba kabur lagi, gue nggak bakal biarin lo istirahat. Ngerti?" Gevan melemparkan selimut untuk menutupi tubuh Vanza yang berada di atas sofa.

Vanza tidak menjawab. Ia hanya bisa menangis sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Mencoba kabur di saat pagi hari telah tiba, ternyata membuatnya kembali disetubuhi oleh Gevan. Vanza sudah tidak punya tenaga.

Gevan membuka lemari. Ia mengambil celana untuk menutupi daerah bawahnya. Setelahnya baju Vanza yang bercecer ia masukkan ke dalam tong sampah yang berada di balkon kemudian dibakar. Lemari dia kunci agar Vanza tidak bisa mencuri pakaiannya. Si miskin itu pasti terus berusaha untuk kabur kalau ada kesempatan.

Gevan menatap ranjangnya. Ia tertawa. "Gue ngga bisa bedain mana darah perawan sama luka-luka lo."

Mendengarnya hati Vanza terluka. Gevan benar-benar iblis. Laki-laki itu tidak merasa bersalah sama sekali. Minimal kasihan pun tidak ada.

Vanza membekap mulutnya agar isaknya tidak sampai ke telinga Gevan. Laki-laki itu terang-terangan menunjukkan kebahagiaan saat ia terisak kuat.

"Gosok terus biar ilang," kata Gevan tertawa menghina pada Vanza yang menggosok jejaknya kesenangannya di bagian dada. Perempuan itu berharap jejak itu hilang.

Vanza memukul dadanya yang sesak. Dalam hitungan detik dia menjerit sekuat-kuatnya tak kuasa menahan semuanya. Ia bahkan sudah begitu jijik dengan tubuhnya.

Gevan tertawa mendengar itu. Ia lalu mengambil kotak P3K dan duduk di samping tubuh Vanza. "Obatin luka gue. Nggak usah lebay. Lo nggak tau kelakuan kakak lo. Ini semua itu karma. Ngerti?"

Gevan menarik paksa Vanza untuk duduk dengan cara kasar. Ia dengan sengaja mengcengkeram tangan Vanza yang tergores pecahan kaca.

"Apa yang udah dilakuin kak Arran? Apa?! Seberapa buruk kak Arran sampai aku harus nerima ini semua?! Jawab ak—" Plak!

"Punya hak apa lo bentak-bentak gue hah? Udah punya tenaga? Mau lanjut? Iya?" Gevan menatap tajam. Tangannya yang baru menampar pipi Vanza merasa ketagihan. Ia ingin menampar lagi. Belum lagi melihat tubuh penuh luka Vanza, Gevan ingin memberikan tusukkan pisau agar Vanza mati seperti kakaknya. Namun, mati adalah hukuman yang terlalu baik.

Vanza menunduk. Ia memegang pipinya yang ditampar okeh Gevan. Air matanya kembali jatuh.

"Kalau dikasih hati jangan minta jantung, Setan!" kesal Gevan. Ia menarik selimut yang menutupi tubuh Vanza kemudian membuangnya dengan kasar membuat Vanza dengan susah payah turun dari sofa dan mengambil selimut itu.

Gevan terkekeh. "Cuma demi selimut lo lewat di depan gue dengan keadaan bugil? Rendahan banget. Bibit-bibit jalang udah mulai subur kayaknya di tubuh lo."

Vanda meremas selimut yang kini sudah kembali menutupi tubuhnya. Rendahan? Bibit jalang? Vanza tertawa mendengar itu. Lebih baik ia melakukan itu dari pada harus meringkuk di samping Gevan dengan keadaan naked.

"Lo nantangin gue?!" Gevan melirik sinis. "Tutup mulut sialan lo itu, Anjing!"

Bugh!

GEVANO [Living with the Devil]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang