Arran menjerit emosi begitu Vanza pingsan setelah proses ijab kabul selesai. Ada banyak yang ingin ia ucapkan. Ada kehangatan yang ingin ia berikan. Ia ingin menguatkan Vanza, tapi Gevan tidak membiarkan itu.
"Thanks, Kakak Ipar." Gevan tersenyum menang. Tubuh Vanza dibawa ke dalam pelukannya. Ia memangut bibir Vanza tepat di hadapan Arran dengan tangan yang meremas aset Vanza.
"GEVAN!" Dua teriakan yang berasal dari Vean dan Arran membuat Gevan menyudahi kegiatannya.
Laki-laki itu terkekeh. Ia menatap Arran dengan senyum mengejek. "Gue bakal jaga adek lo dengan baik, tenang aja. Dia juga pingsan bukan karena minum obat yang gue kasih tadi, cuma karena kecapekan, maklum aja, gue sama dia sama-sama nyari kenikmatan tadi malam," kata Gevan dengan lirih tapi mampu di dengar Arran dengan baik
Senyum miring Gevan terbit. Perkataannya jelas berbanding terbalik dengan kenyataan.
Melihat air mata Arran jatuh, hatinya meras puas. Laki-laki itu tidak memiliki daya untuk melawannya. Vanza sudah benar-benar menjadi miliknya. Dengan begitu ia akan mudah menghancurkan Arran, dan yang lebih penting, ia tidak perlu risau jika sewaktu-waktu mencintai Vanza, perempuan itu sudah sah menjadi miliknya.
Ia tidak akan membiarkan Vanza lepas. Sampai kapanpun. Walau ia tidak mencintai Vanza sekalipun. Ia bisa menikah lagi. Barang kali setelah ini ia menemukan perempuan yang menjadi labuhan hatinya.
Gevan membopong tubuh Vanza. Namun, sebelum itu ia kembali mendekat ada wajah Arran. "Nggak mau ngasih gue kondom? Gimana kalau adik tersayang lo ini hamil terus gue buang?" tanyanya memancing Arran. "Lo tau? Tubuh adek lo itu nikmat, lebih dari narkoba."
Bugh!
Arran tak bisa menahan diri untuk tidak memberikan pukulan pada Gevan. "BAJINGAN!" Deru napasnya memburu. Dada Arran naik turun lantaran emosi. Keinginan terbesarnya adalah menusuk jantung Gevan seperti ia menusuk Gea. "Tunggu gue bebas, dan gue bakal bales semuanya, anjing!"
Gevan terkekeh. "Gue tunggu deh. Masih butuh delapan belas tahun lagi, 'kan? Lo kan dipenjara dua puluh tahun."
"Bawa Vanza ke kamar!" perintah Vean tegas. Ia menyorot putranya dengan tatapan tajam membuat Gevan tersenyum dan mengangguk. Hal itu semakin menyulut Arran.
"Saya butuh bicara dengan Anda, Tuan." Arran menatap Vean dingin. Laki-laki itu mengepalkan tangannya kuat.
"Saya akan menjaga adikmu, lebih baik kamu kembali—"
"Berengsek! Menjaga?!" Arran tertawa keras. "Anda tahu jika Gea akan mati malam itu bukan?"
Vean mengerutkan dahinya.
"Dan Anda membiarkannya," lanjut Arran tersenyum licik. "Anda bahkan lebih memilih ke luar kota dan kembali saat Anda sudah yakin jika Gea mati. Iya, 'kan?"
Sial!
Vean melirik Gevan yang berhenti di undakan tangga. Anak itu pasti mendengar.
Lana menelan salivanya susah payah. Ia menatap suaminya yang diam dengan tatapan tajamnya pada Arran. "Mas."
"Yang saya tahu, Vanza akan mati pada malam itu. Apa itu benar?" Vean balik bertanya. Bibirnya tertarik membentuk senyum licik. "Kamu membunuh Gea karena tidak terima Gea meninggalkanmu. Apa itu juga benar?"
Rahang Arran mengeras. Belum sempat ia membuka mulut, Vean lebih dulu bersuara.
"Dengar, Bajingan Kecil. Saya lebih memilih Vanza yang dibenci oleh Gevan dari pada saya yang dibenci oleh Gevan." Vean mengatakan dengan nada rendah namun penuh penekanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEVANO [Living with the Devil]
Romance🔞🔞 Gevan penuh dendam. Setelah kematian sang kakak dengan cara yang begitu sadis, Gevan merasa hidupnya hancur. Belum lagi kecelakaan yang terjadi saat ia hendaknya menyelamatkan sang kakak, membuat kakinya mengalami kelumpuhan. Vanza satu-satunya...