The Devil #06

20.9K 1.2K 35
                                    

Vote dan komen, cantik!

“Dari mana aja kamu hah?! Anak gadis pulang pagi. Mau jadi jalang kamu?! Mau bikin malu keluarga?! Iya?!” Bentakan dari seseorang yang biasanya Vanza panggil dengan sebutan Om Eza adalah sambutan kala perempuan itu membuka pintu.

“Ak ... aku ....” Vanza tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya seolah terkunci dan tak bisa membuat alasan .

Reza tertawa melihat itu. Ia geleng-geleng kepala. “Vanza, Vanza ... tolong sadar dirinya. Kalau nggak bisa jaga nama baik keluarga miskin ini, lebih baik kamu minggat aja dari sini, sialan!” Nada suaranya kembali meninggi. Dia membentak dan membanting pintu dengan deru napas memburu membuat Vanza takut.

Vanza cukup tahu sebesar apa pamannya ini membencinya. Ia cukup sadar diri, ia tidak pantas tinggal di sini. Namun, tidak ada yang mau menampungnya yang sebatang kara. “Maaf.” Hanya itu yang bisa dia ucapkan.

Ia tidak pulang sendiri. Di tengah jalan seorang pria paruh baya berperut buncit dengan mobil mewahnya menghentikan dan memaksanya untuk ikut. Tidak ada yang terjadi. Laki-laki itu juga tidak kurang ajar, pria itu mengantarnya pulang dan itu membuat mulut para tetangga langsung mengeluarkan keahliannya. Pamannya malu, dan tentu kemarahannya memang pantas ia terima.

Reza berdecih melihat Vanza yang menunduk. Roda memang berputar. Lihatlah, anak yang dulu sombong dan begitu membencinya, kini bahkan menundukkan kepala dengan penuh hormat dan rasa sesal.

“Cepat siap-siap dan sekolah. Nggak ada cerita libur. Om nggak peduli tangan kamu kenapa sampai diperban. Yang jelas kamu harus sekolah. Ngerti?!”

“Iya.” Vanza hanya bisa menurut. Dia menggigit bibir bawahnya setelah pamannya hilang dari pandangan.

“Tanganmu kenapa?” Seorang perempuan bernama Siska yang merupakan istri dari Reza menatap malas pada si beban keluarga itu. Sejujurnya ia muak melihat wajah Vanza, tapi ia masih punya rasa iba pada anak itu.

“Diskolasi bahu.” Vanza tersenyum kecil. Walau selalu dengan nada ketus tantenya bertanya, tapi ia tahu jika perempuan itu peduli. Mengingat perlakuan orang tuanya, memang sepantasnya keluarga Reza membencinya.

Siska menghela napas kasar. Vanza memang benar-benar menyusahkan. Kenapa harus pakai acara dislokasi bahu segala?!

“Cepat siap-siap. Kamu nggak dengar om ‘mu bilang apa tadi. Harus sekolah.” Siska mendorong Vanza dengan kasar agar segera masuk ke dalam kamar mandi. Ia menggebrak pintu itu membuat Vanza menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Gadis itu memejamkan mata dan air mata pun jatuh.

Siska berdecak sebelum akhirnya pergi ke dapur untuk memasakkan si beban itu telur untuk sarapan. Ia harus baik dan tak membuat anak itu kelaparan agar cepat sembuh. Lagi pula selain menambah beban, Vanza juga menambah penghasilan. Penghasilan kerja gadis itu dan uang yang masuk ke rekening Vanza setiap bulannya. Belum lagi setiap Vanza hampir menyerah dengan hidupnya, ada seorang pemuda yang begitu bahagia dan memberikan uang untuk itu.

***

“Lo itu nggak pantas makan di sini. TOLONG KESADAR DIRIANNYA, MISKIN!” teriak Risa di telinga Vanza sekuat-kuatnya. Dia menjambak rambut Vanza kemudian mengguyur rambut Vanza dengan kuah baksonya.

Vanza memejamkan mata. Ia meringis kesakitan dan bersamaan dengan itu air matanya jatuh. Entah kapan semua ini akan berakhir.

Vanza ingin meminta bantuan Vanya, tapi perempuan itu pergi entah kemana. Sedangkan Risa tampaknya amat murka kala melihatnya makan di kantin.

“Wow!” Kelvin berseru di pintu kantin membuat Risa menunjukkan senyum lebarnya. Berpikir jika Kelvin amat membenci Vanza, jadi Risa pikir dia akan mendapat dukungan. Lagi pula ia tidak salah, yang salah itu Vanza. Bisa-bisanya si miskin ini tidak tahu diri, memang kantin ini pantas untuk Vanza. Harusnya Vanza itu sadar diri, dia itu tidak boleh makan di kantin karena hanya akan membawa kuman.

GEVANO [Living with the Devil]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang