The Devil #19

19.2K 1.5K 649
                                    

Vote sebelum membaca!
Part pendek, cuma 1700 kata. Udah malem, besok lanjut lagi kalau pr sekolah nggak possessive


"Aku benci Kakak." Setelah mengatakan itu Gevan dibuat panik bukan main saat Vanza terjun dari balkon kamarnya.

"VANZA!" Detik itu juga Gevan merasa detak jantungnya seolah berhenti. "Gue cuma bercanda."

Sejatinya, Vanza sangat berharga untuknya.

Gevan buru-buru bangkit. Seharusnya perempuan itu jatuh ke kolam renang.

Sial! Ia kecolongan! Sekarang ia mengerti kenapa Vanza melepaskan roknya, hanya untuk mempermudah loncat dari balkon.

Vanza memang benar-benar. Bisa-bisanya perempuan itu mempermainkannya seperti ini.

"Vanza!" Teriakan dari Rafel membuat Gevan mengeram. Ia dapat melihat Rafel berlari hendak menolong Vanza.

Gevan meremas railing pembatas balkonnya. Memastikan jika tidak akan terjadi hal buruk jika ia melompat, Gevan segera melompat menyusul Vanza.

Menuruni tangga ataupun memakai lift akan mengulur waktu. Ia tidak bisa membiarkan Rafel menyentuh Vanza. Tidak, tidak seorang pun.

"Lo gila hah?!" bentak Gevan membawa Vanza menuju bibir kolam. Napasnya terengah-engah.

Perempuan itu sudah tidak sadarkan diri. Amarah tak bisa Gevan tahan. Sialnya amarah itu bukan untuk Vanza, tapi untuk dirinya sendiri.

"Lo bisa berenang, Vanza." Gevan mengerang frustrasi. Ia buru-buru keluar dari kolam setelah Vanza ia baringkan di bibir kolam.

"Lo apain dia, Sialan?!" Rafel mendorong Gevan karena perasaan marah dan kesalnya. Dadanya naik turun emosi. Sepertinya benci yang ia tanam di dada Gevan tumbuh subur.

"Jangan sentuh istri gue, bangsat!" teriak Gevan mendorong dada Rafel dengan kuat. Amarahnya seolah tersalurkan oleh itu. Rafel terjungkal ke belakang.

"Shit!" Gevan melepaskan bajunya secepat kilat. Ia lalu menutupi paha Vanza yang terekspos, perempuan itu hanya memakai celana pendek yang seharusnya hanya boleh ia lihat, bukan mata berengsek Rafel sialan.

"Za ...." Kekhawatiran terdengar jelas dari suara Gevan. Pria itu menepuk pipi Vanza dengan harapan sang istri bangun, tapi tidak terjadi apapun membuatnya nyaris berteriak mengutuk wajah Rafel jadi celeng. Semua gara-gara Rafel sialan!

Gevan beralih mendekatkan telinganya di mulut dan hidung Vanza untuk mengecek pernapasan perempuan itu.

Tidak perlu berpikir sampai satu setengah kali, laki-laki itu menjepit hidung Vanza dan memberikan napas buatan.

Rafel terdiam di tempatnya. "Lo khawatir?"

Gevan mengumpat di dalam hati. Ia khawatir?! JELAS! Dasar Rafel sialan! Bodoh!

"Lo nggak papa?" tanya Gevan begitu Vanza terbatuk dan memuntahkan air yang sengaja ia hirup tadi. Beban Gevan seolah hilang begitu Vanza membuka mata.

"Nggak ...." Vanza membekap mulutnya membuat Gevan langsung menarik tangannya.

"Jangan bodoh!" teriaknya marah. Tidak kah Vanza tahu jika dirinya kini sangat khawatir?

Air mata Vanza menetes. Gagal lagi? Kenapa sangat sulit untuk pergi dari Gevan.

Vanza memejamkan mata begitu selesai dengan muntahannya.

"Za? Lo nggak papa? Lo goblok sih, ngapain lo loncat dari atas hah?! Mending lo dorong Gevan. Dia mati lo dapat warisan," kata Rafel hendak menyentuh Vanza.

"JAGA TANGAN SIALAN LO ITU SEBELUM GUE CINCANG!" teriak Gevan langsung mengangkat tubuh Vanza.

Perasaan Gevan kembali kacau saat melihat tanda-tanda Vanza akan kembali kehilangan kesadaran. "Za ... tolong bertahan. Lo nggak pengen bahagia hm? Lo nggak pengen bales dendam ke Rafel? Dia yang bikin gue benci sama lo. Lo harus tetap sehat biar bisa balas dendam sama dia karena udah hancurin hidup lo."

GEVANO [Living with the Devil]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang