“Aku bukan barang yang bisa Kakak jual!” Vanza mencoba melepaskan tangan Gevan dengan kuat.
Gevan yang mendengarnya menoleh. Ia tersenyum miring melihat usaha Vanza untuk melepaskan diri.
“Gue awalnya juga nggak mau nganggep lo barang, Za. Tapi gimana lagi, lo nggak mau kan jadi istri gue. Padahal gue mau banget. Jadi karena tubuh lo ini menarik, gue jual pakai tarif tinggi. Kalau udah dapat uang banyak, gue bisa nikahin lo tanpa persetujuan bokap gue.” Gevan mendekatkan bibirnya di telinga Vanza. “Tenang aja, gue masih mau sama lo.”
Klek!
Pintu kamar hotel itu terbuka, menampilkan sosok pria paruh baya yang tatapannya langsung tertuju pada Vanza.
Gevan langsung menyapa. “Kalau memuaskan jangan lupa kasih bonus.” Ia mendorong Vanza untuk berdiri di hadapan pria itu.
Vanza langsung mundur saat tangannya hendak digapai. Tubuhnya menabrak tubuh Gevan. Pria paruh baya itu berdecak.
“Nggak usah jual mahal.”
Jika tadi Vanza berusaha melepaskan diri, kali ini ia menggenggam tangan Gevan dengan kuat. Dadanya naik turun dengan napas tersendat-sendat.
Vanza menyentakkan tangan pria itu. Tangannya yang satu lagi masih dicekal oleh Gevan dengan kuat. Ia membalikkan tubuh menghadap Gevan.
“Lepasin, Kak. Aku nggak mau.” Vanza menggelengkan kepalanya dengan air mata yang semakin deras.
Gevan hanya terkekeh. Satu tangannya yang menganggur ia gunakan untuk merengkuh tubuh Vanza. “Peluk gue kalau gitu. Kalau rasanya nyaman, gue pertimbangin.” Gevan meniup tengkuk Vanza dengan senyum penuh kemenangan.
Ia dapat merasakan tangan Vanza yang memeluk tubuhnya begitu erat. Hangat, nyaman, dan menegangkan.
Gevan tidak bisa berada di zona nyaman itu terlalu lama. Ia mendorong tubuh Vanza. “Nggak nyaman,” komentarnya bersedekap dada.
Vanza menatap Gevan dengan mata berairnya. Menggunakan kekuatan penuh, ia mendorong tubuh Gevan hingga laki-laki yang kurang persiapan itu jatuh terduduk.
Vanza menginjak tangan Gevan kuat begitu laki-laki itu menangkap kakinya.
“Sayang!” Gevan berteriak kesal. Vanza sudah berlari kabur. Ia menyunggar rambutnya kasar.
“Udah kan? Om capek, pengen istirahat. Jangan ganggu om lagi. Cepat kejar pacarmu itu.” Pria paruh baya tadi menguap lebar.
Gevan berdecak mendengarnya. Ia bangkit dan menepuk-nepuk pantatnya yang terasa sedikit sakit. “Bukan pacar, cuma calon istri.”
Mengucapkan terima kasih, setelah itu Gevan berlari mengejar Vanza. Ia mendapati perempuan itu menangis dengan posisi terduduk sementara seorang pria tampak berusaha menariknya.
Apa kah ia harus membiarkannya? Kelihatannya pria itu mabuk dan menginginkan Vanza. Gevan berpikir sejenak. Sepertinya lebih baik ia membiarkan Vanza dibawa, dan saat sudah hendak diapa-apakan, ia baru menolong. Itu terpikir lebih menguntungkan.
Plak!
“Shit!” Gevan melangkah cepat. Ia menarik kerah baju pria itu kemudian memberikan bogeman mentah. Nyatanya dia tak bisa diam saja saat pria kurang ajar itu memberikan tamparan pada Vanza agar menurut.
Vanza menutup wajahnya dengan tangan. Sungguh, ia sudah lelah. Harusnya Gevan membunuhnya saja tadi. Ia akan melawan sebisa mungkin, konsekuensi setelah melakukan bunuh diri membuatnya berpikir dua kali untuk melakukan itu. Jadi lebih baik mati di tangan Gevan dari pada di tangan sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
GEVANO [Living with the Devil]
Romance🔞🔞 Gevan penuh dendam. Setelah kematian sang kakak dengan cara yang begitu sadis, Gevan merasa hidupnya hancur. Belum lagi kecelakaan yang terjadi saat ia hendaknya menyelamatkan sang kakak, membuat kakinya mengalami kelumpuhan. Vanza satu-satunya...