The Devil #38

10.5K 545 124
                                    

.
.
.

MENGANTARKAN Vanza ke sekolah adalah awal hari bagi Gevan. Laki-laki itu lebih banyak diam. Vanza yang duduk di sampingnya menjadi ragu untuk turun. Bagaimana jika ia bergerak sedikit saja dan itu mempengaruhi mood Gevan. Ia takut dijadikan pelampiasan amarah.

Sungguh, Vanza tidak tahu kenapa Arran bisa sekejam itu?

Ia menyentuh tangan Gevan pelan.

Gevan menoleh. Matanya yang semula menatap lurus ke jalan kini beralih menatap Vanza.

"Aku turun ya, Kak. Boleh?" tanyanya meminta izin.

Gevan mengangguk. Ia mengangkat tangannya dan mengusap rambut Vanza dengan pelan. "Lo pikir gue jahat ya? Gue emang jahat, tapi Abang lo lebih jahat. Sekali lagi gue kasih peringatan, jangan macam-macam. Jauhi sebisa mungkin resiko kontak fisik sama cowok lain. Gue udah milih buat baik sama lo jadi jangan buat gue berubah pikiran. Ngerti kan, Sayang?"

Gevan tidak akan pernah membiarkan Vanza bahagia jika perempuan itu berani mengkhianatinya. Video semalam membuat emosinya kembali berkobar, tapi karena keputusan yang diambil untuk memperlakukan Vanza dengan baik, Gevan menahannya dengan mengingatkan dirinya setiap detik kalau yang jahat adalah Arran, bukan Vanza yang tidak tahu apa-apa.

Vanza mengangguk kaku.

Gevan menarik sedikit sudut bibirnya hingga terbentuklah senyum tipis. Ia memajukan wajah dan menjangkau dahi Vanza dengan bibirnya. "Gue harap di ingatan lo yang hilang itu lo ngga punya peran apa-apa. Nggak ada yang gue tau selain bajingan itu bunuh kakak gue, tapi kak Gea sempat depresi dan hampir gila. Gue nggak tau alasannya apa, tapi gue yakin, ada nama Arran di dalamnya."

Vanza sedikit mengepalkan tangannya. Sebisa mungkin dia tidak menangis ketakutan.

"Aku juga berharap gitu."

***

"Dia sudah mencintai perempuan itu," gumamnya tertawa kecil. Seringai terbit dari bibirnya. "Bahkan setelah melihat pembunuhan kakaknya, dia masih bisa menahan diri. Dasar bodoh. Hahaha, aku akan membuat hidupmu berada dalam neraka, Gevan. Cinta dan benci, menyesal dan kehilangan. Kau akan merasakan semuanya. Vanza, dia yang akan membunuhmu."

Axel memiringkan kepala. "Darah dibalas darah, dan nyawa dibalas nyawa. Tapi sayangnya aku tak cukup dengan satu nyawa, kalian semua harus mati. Gea harus tau bagaimana tersiksanya melihat orang yang disayang mati mengenaskan."

"Cintamu yang akan menghancurkanmu," ujarnya menatap lurus pada Gevan dan Vanza yang berada di depan gerbang.

"Dia punya peran." Axel mengedipkan sebelah mata.

***

GEVAN menenggak minuman kalengnya dengan kasar. Hati teras panas. Emosinya menjalar memenuhi setiap ruang di dalam tubuhnya.

Sakit dan marah.

Jantungnya terasa sakit. Gambaran Arran yang menusuk Gea membuatnya kesulitan bernapas. Gevan ingin menangis dengan keras. Ia ingin meraung memanggil kakaknya. Andai ia datang lebih cepat, semua itu mungkin tidak terjadi.

Andai ia tidak mengalami kecelakaan, kakaknya mungkin tidak mati.

Andai, dan andai!

Sebanyak apapun Gevan berandai, ia tidak bisa mengubah keadaan. Kakaknya tatap mati! Gea tetap meninggalkannya!

"Argghhh, Arran bangsat! Gue bunuh lo!" teriaknya murka. Ia memukul pembatas rooftop dengan kuat. Kepalan tangannya memerah dan pecah mengeluarkan darah.

Deru napasnya memburu. Arran bangsat! Mau kabur ke mana anjing itu hah?! Gevan tidak akan pernah membiarkannya lolos!

Ia kembali meninju pembatas rooftop. Matanya memancarkan amarah. Dorongan untuk membalaskannya kepada Vanza terus muncul.

GEVANO [Living with the Devil]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang