The Devil #30

19.6K 1.4K 565
                                    

“Za, bangun.” Gevan menepuk pipi Vanza pelan. Perempuan itu tertidur dengan nyaman selama perjalanan pulang. Dia dibiarkan seperti seorang supir. Untung suasana hatinya tidak buruk, jika tidak, pasti sudah ia tarik rambut Vanza dan dia paksa untuk bicara apa saja. Jujur saja, Gevan merasa bosan tadi.

“Njir, nggak bangun-bangun.” Gevan menekan hidung Vanza sedikit kuat, tapi tetap tidak membuahkan hasil. Vanza masih nyaman dalam tidurnya. Sebenarnya bukan masalah sih, kalau Gevan langsung angkut saja, tapi malas kalau Vanza tiba-tiba buka mata dan minta turun. “Za, bangun nggak? Gue perkosa mampus.”

Gevan mengecup bibir Vanza cepat membuat perempuan itu melenguh pelan dan mencari posisi yang nyaman untuk melanjutkan tidur.

Gevan berdecak kesal. “Awas kalau pakai jual mahal, gue banting lo," gerutunya langsung turun dari mobil. Sumpah, kalau Vanza sampai sok jual mahal, ia banting beneran.

Diangkatnya tubuh Vanza ala bridal dan benar saja, baru tiga langkah, perempuan itu sudah membuka mata.

“Udah nyampe, Kak?” tanyanya dengan suara serak. Ia mengucek matanya pelan. Wajah Gevan masih sedikit kabur-kabur di matanya.

“Hm, lanjut tidur aja.” Gevan mengecup dahi Vanza pelan. Shit, rasanya kenapa nagih banget sih?! Seberapa banyak ia mencuri kecupan di wajah Vanza, ia tidak pernah merasa puas.

“Nggak papa?” Vanza ragu. Pasalnya ia sama sekali tidak bisa menebak pikiran Gevan saat ini, bisa saja setelah ia kembali terlelap terus dilempar ke kolam renang. Kalau begitu boleh jujur, ia masih sangat mengantuk. Tubuhnya memang kelelahan setelah mengimbangi nafsu Gevan tadi pagi.

“Lo ringan, nggak masalah buat gue." Gevan kembali mengecup pipi Vanza. Sebelah sudut bibirnya tertarik. Dalam hitungan detik, dia bisa melihat ketakutan di mata Vanza setiap kali ia memberi ciuman. Tapi Vanza mencoba melawan rasa takut itu.

Perempuan itu masih takut padanya. Entahlah, padahal sepertinya kelakuannya tidak terlalu buruk, tapi Vanza seperti susah melupakan.

Kalau terlalu buruk, bukankah seharusnya Vanza sudah ia tendang ke rumah sakit jiwa karena gila. Ini buktinya Vanza masih kelihatan baik-baik saja. Ya, walaupun saat ia sentuh kadang merasa takut.

“Za, lo nggak bisa nyium gue? Gue udah nunggu berapa jam, anjir.” Gevan menatap Vanza. Sedari ia minta ciuman di lapangan basket kampusnya, sampai menghabiskan waktu dua jam berbelanja keperluan Vanza, satu jam di restoran, dan satu jam diperjalanan, tapi Vanza masih belum memberi apa yang ia minta. Ia saja sudah mencium pipi Vanza berpuluh-puluh kali dalam rentang waktu segitu.

Vanza memejamkan matanya cepat membuat Gevan memutar bola matanya malas. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya memasuki rumah dengan Vanza yang anteng di gendongan. Untuk saja Vanza tidak sok jual mahal, jadi niatnya menambah dosa tidak terlaksana.

“Besok lo sekolah lagi.” Gevan mengecup pipi Vanza pelan.

“Aku nggak mau,” balas Vanza. “Aku nggak mau sekolah lagi, Kak. Boleh ya? Aku nggak mau sekolah.” Vanza menatap memohon pada Gevan. Mengingat bully-an yang sering didapat, ia merasa sudah cukup saja menderita di rumah ini. Mentalnya tidak cukup kuat untuk lebih jauh lagi.

“Apaan? Lo kira nyekolahin lo murah? Nggak, nggak ada nggak sekolah. Lo boleh nggak kuliah, tapi harus lulus SMA.” Gevan menjawab tegas. Walau tidak merasa kurang sedikitpun setelah uang jajannya ia potong untuk menyekolahkan Vanza, tapi tetap saja. Vanza harus lulus SMA. Sia-sia lah kalau harus keluar sekolah padahal bentar lagi juga lulus.

“Aku nggak mau—”

“Lo mau hamil hah?” Gevan menurunkan Vanza dan dengan cepat memojokkan perempuan itu. Tangannya menekan dinding di belakang Vanza hingga jarak tubuhnya dan Vanda hanya beberapa senti saja.

GEVANO [Living with the Devil]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang