The Devil #32

16.8K 1.2K 458
                                    

Gevan mengangkat sedikit kepala Vanza kemudian menarik tangannya yang sedari tadi digunakan untuk menjadi bantalan. Ia masuk ke dalam kamar mandi untuk buang air kecil. Tidak membutuhkan waktu lama, dia kembali keluar. Namun langkah kakinya terhenti di pintu.

Melihat Vanza yang tengah tertidur di atas ranjang sana, tentu saja itu terasa tidak asing. Namun kini di matanya bukan Vanza, melainkan Gea. Rasa marah dan tak terima itu masih ada, tapi untuk dilampiaskan kembali pada Vanza ....

Gevan menggelengkan kepalanya. Dia membuang napas kasar. Kini pikirnya mendadak dipenuhi dengan kata “Arran di mana?”.

Mengingat fakta bahwa ia harus menemani sang adik ke pasar malam, Gevan beranjak mendekati lemari untuk mencari pakaian kakaknya yang mungkin cocok untuk Vanza. Paling tidak, ia harap itu dapat mengurangi sedikit rindunya.

Selembar foto terjatuh. Gevan mengambilnya. “Ish ....” Gevan kembali menaruh foto itu kasar di dalam lemari setelah melihat gambarnya. Potret darah yang membasahi lantai.

Kakaknya pecinta gore. Sebuah fakta yang tidak bisa Gevan tahu alasannya. Mengherankan. Kakaknya dulu penakut, mendengar suara teriakan yang memilukan saja mengeluh mual tidak sanggup mendengarkan. Namun, tiba-tiba, perubahan terjadi begitu kakaknya pulang setelah dibawa oleh ayahnya keluar negeri untuk satu bulan.

Kakaknya bahkan dengan gilanya mengajak dirinya menonton film penuh darah sepanjang hari.

Bukan hanya pada kakaknya, perubahan terjadi juga pada sang ayah. Kebahagian Gea selalu bertentangan dengan sang ayah. Ayahnya lebih sering marah-marah dan membentak Gea. Perbuatan yang Gevan nilai sebagai berkurangnya kasih sayang.

“Za, bangun.” Gevan menepuk pipi Vanza. “Siap-siap gih, bentar lagi berangkat.”

Vanza bergumam tidak jelas. Dia membalikkan tubuh dan kembali terlelap setelah berhasil membawa bantal yang Gevan pakai tadi, ke pelukan.

“Jadi ikut nggak? Keburu larut malam. Besok lo juga harus sekolah.” Gevan kini mengguncang tubuh Vanza sedikit kuat.

Vanza menutup telinganya, seakan tidak mau mendengarkan.

“Ck! Ikut nggak?”

“Nggak.” Antara sadar dan tidak sadar Vanza menjawab. Rasa kantuk membuatnya menjawab tanpa pikir panjang.

“Ikut aja lah, yuk. Ngapain di sini sendiri. Lo butuh udara segar.” Sejujurnya Gevan hanya takut Vanza melakukan percobaan bunuh diri lagi. Gevan menyingkirkan tangan Vanza yang menutupi telinga.

“Usap-usap.” Vanza menarik tangan Gevan dan mendaratkan di kepalanya. Digerakkan tangan itu pelan untuk memberikan usapan lembut. “Aku kangen banget sama, Papa. Pengen cerita banyak. Dengerin ya?” Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum lebar.

“Mimpi lo kali ini indah ya?” Gevan tersenyum tipis. Ia mengusap kepala Vanza dengan lembut. Sepertinya Vanza tengah memimpikan pertemuannya dengan sang ayah. Biasanya ia selalu melihat Vanza gelisah setiap kali tidur tanpa pelukan, terisak tiba-tiba, dan ketakutan begitu saja. Namun, kali ini berbeda. Perempuan itu bahkan tersenyum. Haruskah ia renggut kebahagiaan itu dengan memaksa Vanza terjaga?

“BANG GEVAN CEPETAN DONG! AKU TUH MAU KE PASAR MALAM, BUKAN PASAR PAGI! LAMA BANGET!” teriak Avan dari sama sambil menggedor-gedor pintu membuat Gevan berdecak.

“Jangan berisik. Kamu pergi sama ayah aja sana. Abang sibuk,” kata Gevan begitu pintu dibuka.

Avan menggembungkan pipi sebal dengan mata yang tajam. Dia menatap Gevan setajam silet. “Dasar anak durhaka. Abang kan tadi lihat kalau ayah baru pulang! Masih capek, butuh istirahat. Gitu aja nggak tau!”

GEVANO [Living with the Devil]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang