26. Tak Lagi Berharap Banyak

10 2 0
                                    


"Harapanku tak sirna, hanya saja aku lebih menggantungkan harapan pada-Nya. Cepat atau lambat kau pasti akan lupa soal aku, selalu ada yang baru. Selalu ada hal-hal yang membuat kita goyah."

️☘️☘️☘️

Anel sudah lama tidak pusing memikirkan soal Dimitri. Rasanya jauh lebih tenang dan damai, sebab memikirkan sesuatu yang tidak pasti hanyalah sebuah bahagia sementara yang bahkan kejelasannya tidak dapat dipastikan.

Ya, pada awalnya Anel sudah lebih tenang, lebih enjoy dan lebih bebas. Namun, baru-baru ini ada masalah lain yang menghampiri hidupnya. Ini berhubungan dengan karirnya. Buku desainnya untuk pergelaran yang akan diadakan bulan depan menghilang, padahal dirinya telah lelah mendesain beberapa set pakaian untuk pergelaran nanti. Beberapa hari ini dirinya tidak tidur, memikirkan kemana hilangnya buku tersebut.

Namun, semakin dipikirkan rasanya semakin membuang waktu. Anel pikir lebih baik dia membuat desain yang baru. Sungguh berat bagi dirinya akhir-akhir ini. Anel mencoba mengikhlaskan buku yang hilang itu. Ikhlas memang berat, tetapi dia tak boleh stuck.

Tidak lama handphonenya bergetar, ada telepon dari Dimitri. Anel tak sempat melihat bahkan mengangkatnya karena sibuk mendesain. Anel tidak bermaksud membalas dendam karena Dimitri selama ini yang berpura-pura diam dan tidak mengenalinya. Anel murni hanya terlalu fokus saat mendesain.

"Mbak, telepon Mbak dari tadi bunyi lho," ucap Karura pada atasannya itu yang beberapa waktu lalu dipanggil ke rumahnya untuk membantunya mendesain.

"Eh, iyanya?" Anel seolah tidak yakin karena saking fokusnya dia jadi tidak mendengar apa-apa.

Anel melihat ke layar ponselnya mendapati nama 'Dimitri' di sana. Anel mengerutkan keningnya, tetapi wanita itu tidak menelepon balik pria itu.

"Mbak kok gak nelepon balik? Memangnya siapa yang nelepon?"

"Dimitri Ra," Anel diam sejenak mengambil pensil warnanya. "Buat apa nelepon balik. Apa juga yang mau dibicarain. Kan kami juga gak pacaran." Mendengar ucapan Anel, Karura terdiam.

"Mbak kayaknya kecewa banget sama Mas D."

"Ya kalau kecewa, manusia kan emang suka mengecewakan. Daripada kecewa, Mbak bingung aja. Kenapa dia harus perjuangin Mbak, disaat orang tuanya lebih tepatnya Mamanya gak suka sama Mbak. Dan dia gak perlu jadi harus pura-pura masih amnesia. Dia pikir itu lelucon."

"Mbak, bagaimanapun itu mungkin karena Mas D cinta sama, Mbak," Karura memberi pendapat sambil tetap fokus mewarnai hasil gambar Anel.

"Ra, ya kalau gitu dia harusnya bisa lebih yakinin Mamanya, atau dia bisa kok gak milih Mbak dan milih move on aja."

"Memang move on semudah itu, Mbak?" balas Karura lagi dengan polos. "Buktinya dulu waktu Mbak putus dari Mas Ajril aja susah Move on dan malah ngelampiasin ke yang lain. Aku tahu kok Mbak udah berubah, udah jadi lebih baik. Namun, semua tetap harus dipikirkan, Mbak. Oke, Mbak sudah malas berharap. Ya memang sudah sejatinya begitu, tetapi Mbak juga harus mikirin posisi Mas D."

"Ra, kamu benar sih. Memang aku yang egois. Sebenarnya Mbak juga kesal, karena sudah lama Mbak nungguin dia, tapi dia malah ke sini sama cewek lain. Mbak tahu Ra, dia gak bermaksud begitu, tapi bisa gak sih dia cerita sama Mbak. Katanya Mbak penting. Apa Mbak gak sepenting itu ya? Jadinya sekarang Mbak malas."

Fragment (Golden Tree The Series Two) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang