Semuanya harus berjalan. Kehidupan ini. Kenyataan ini. Bahkan ketika ada kalanya harus berhenti, anggap saja itu waktu yang disediakan alam untuk rehat sejenak. Namun, jangan biarkan semuanya stuck, membuat hidupmu mati. Membuat kenyataanmu membangkai.
Seperti waktu yang tak mau menunggu, seperti air yang selalu ingin mengalir. Hidup harus tetap berjalan, tak peduli kau mampu atau terbeban.
"Aku pulang dulu." Suara gadis itu terdengar lirih sambil mengusap nisan bertuliskan Alpha Flozarco. Sebelum bangkit, ia menatap kembali pusara yang sudah menghijau itu seakan belum rela ia meninggalkan tempat ini sekarang. Namun, urusan gadis ini masih banyak. Ia harus segera kembali sebelum matahari beristirahat.
Dengan sisa tenaganya, gadis itu menggendong kembali ranselnya lalu merapatkan zipper jaket kulit hitamnya. Ia berjalan keluar area pemakaman dengan tertunduk. Kedua telapak tangannya menghangat di balik saku jaket. Tremornya mereda.
🔶🔶🔶
Pintu kamar kost terbuka setelah sang empu memutar anak kunci. Gadis itu tercekat ketika melihat seorang pemuda yang duduk di samping tempat tidurnya. Pemuda itu menatapnya sambil menenteng satu leher botol di tangannya.
"Dari mana lo?" tanyanya biasa. Pemuda itu merapatkan punggungnya ke tembok.
Gadis itu tak langsung menjawab. Ia melempar ransel hitamnya ke arah pemuda itu. Sontak, pemuda itu langsung menyambar tas yang dilempar.
"Lo ngelukis lagi?" katanya saat menemukan palet cat air lengkap dengan peralatan lukis dan kanvas di dalam tas itu.
"Nggak ada yang bisa gue lakuin selain itu," ucap gadis itu lesu sambil melepas sepatunya.
"Girl, jadi prestasi balap lo buat apa?" Pemuda itu menunjuk jajaran mendali yang terpajang indah di setiap bingkai yang menghiasi seluruh sisi dinding kamar itu. "Come on, Sil. Akui Ini prestasi lo!"
Gadis bernama Silvanna itu menengok pemuda yang menatapnya datar dari tembok, berangsur mendongak untuk menjelajah jajaran bingkai itu dalam sekali kedip.
"Gue nggak butuh itu semua, Ling!" katanya sambil menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari tangannya.
"Dan lo milih buat cari aktivitas baru yang belum tentu lo bisa?"
"Sebuah penghinaan kalo lo bilang gue nggak bisa ngelukis!" Silvanna tersenyum miring seraya masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya.
Sekembalinya dari kamar mandi, Silvanna mendapati ponselnya berdering. Silvanna lantas menginjak kaki Ling untuk mencegah pemuda itu mengambil ponselnya terlebih dahulu.
Sekarang pukul enam sore, itu tandanya hanya Silvanna yang boleh mengangkat telepon di jam itu. Tak lupa, ia menyalakan satu program yang sudah tertanam di ponselnya sebelum ia menjawab telepon itu.
"Halo, Ma!" sahut Silvanna. Tak ada yang aneh dengan suara Silvanna. Namun seseorang di seberang sambungan telepon itu mendengar suara yang lain.
"Alpha, katanya kamu balap lagi malam ini?" tanya seseorang di seberang sana.
"Iya, Ma. Night road race biasa," sahut Silvanna.
"Kamu mau sampai kapan jadi pembalap, Alpha? Mama sudah memberikan kamu kesempatan untuk memilih keinginan kamu! Dan sekarang, kamu yang harus menuruti keinginan Mama!"
Silvanna terdiam, ia sudah hafal keinginan Ibu dari mendiang pacarnya itu. "Jadi pembalap udah jadi jalan aku, Ma," jawabnya lemas.
"Pasti karena Silvanna lagi, kan? Kenapa sih kamu belain perempuan itu terus? Dia cuma pacar kamu yang belum tentu jadi istri kamu, Alpha. Nurut sama Mama kenapa, sih?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rider Angel
FanfictionUntuk menutupi kabar pacarnya yang sudah meninggal akibat kecelakaan motor di track road race, Silvanna rela memegang peran ganda. Gadis ini harus mengimbangi 'suka dan tidak suka' untuk menjalani kenyataan hidupnya. Jalanan bukan kehidupannya, sert...