Malam itu, Ling mengetuk pintu kos Silvanna. Namun, sudah dua menit cowok itu berdiri di sana, pintu itu belum juga dibuka pemiliknya. Bukan tidak ada orang, Ling tahu jika ada sepatu Silvanna tergeletak sembarang di luar. Itu tandanya, pemilik kamar kos 08 ada di dalam.
"Sil, udah dong ngambeknya. Sil!" panggil Ling yang seakan belum menyerah untuk membujuk Silvanna. Ketukan pintunya belum juga digubris.
"Sil, gue bawa makan malem, nih. Mayan lah dari client gue!" sahut Ling lagi.
Pemilik kamar itu seakan tuli. Ia enggan membuka pintu kamarnya dan memilih untuk bersembunyi di balik selimut sambil bermain game balap di ponsel pintarnya. Silvanna mendecih ketika mendengar beberapa panggilan dari Ling di luar.
"Berisik!!" sahut Silvanna dari dalam.
Ling tersenyum miring, ternyata Silvanna masih mau menjawab panggilannya meskipun berupa umpatan yang tidak penting. Tingkah iseng Ling terasah di situasi seperti ini. Iya menatap token listrik yang ada di samping pintu kamar itu. Dengan sekali tekan, seluruh akses listrik di kamar itu mati hingga menimbulkan jeritan histeris dari perempuan di dalam sana.
"Anjrit mati listrik!" Silvanna bangkit buru-buru, tak peduli tubuhnya menghantam sudut meja untuk mencari senter. Merasa tak menemukan senter, Silvanna segera membuka pintu untuk beranjak ke kamar Ling.
Namun, saat ia tiba di ambang pintu, ada Ling yang tengah memainkan sakelar token kamar Silvanna. Cowok itu tersenyum miring sambil mengayun kedua alisnya. Sekali switch, listrik di kamar Silvanna sudah kembali menyala.
"Sialan!" amuk Silvanna sambil menghantam Ling dengan bogem tangannya. Setelahnya, Silvanna melipat tangannya di dada seraya bersandar ke kusen pintu. "Apa?" tanyanya galak.
"Gue dikasih makanan sama client gue. Lo dapet bagian." Ling mengangkat paper bag makanan itu sebatas dada.
"Masih peduli lo sama gue?" sinis Silvanna membuat Ling menghela napas berat.
"Lo piaraan gue yang harus dikasih makan. Nanti gue disuruh tanggung jawab kalo sampe lo kelaparan."
Silvanna makin melotot. Tubuhnya tegak seketika setelah menghentakkan kaki.
Ekspresi itu membuat Ling semakin geli hingga tertawa melihat tingkah sahabatnya itu. Tangannya mengacak-acak rambut silver Silvanna. Tangan satunya mengaitkan paper bag itu di tangan Silvanna. "Makan, ya. Gue nggak mau lo tambah kurus!" acakan rambutnya berakhir. Seulas senyum simpul ditorehkan Ling sebagai ucapan pamit selamat malam.
Sekotak donat beserta minumannya diterima Silvanna dari Ling. Biarpun agak menyebalkan, cowok itu tetap perhatian pada Silvanna. Semenjak ditinggal Alpha, Silvanna hanya punya Ling dan teman-teman klub motornya. Dia tidak punya siapa-siapa lagi.
Baru saja hendak menggigit donat kacang, ponsel Silvanna berdering. Bukan ponselnya, melainkan ponsel Alpha. Ia bersiap untuk mengaktifkan program wajib untuk mengangkat panggilan dari Mama Alpha.
"Halo, Ma."
"Alpha, Mama malam ini akan terbang ke Kota Lumia. Kirim alamat kamu sekarang juga! Mama akan paksa kamu pulang!"
Silvanna tercekat. Tangannya berangsur tremor, merasa ketakutan kalau penyamarannya ini akan terbongkar. Ia tak bisa membayangkan bagaimana ngamuknya Mama Alpha jika mengetahui kalau Alpha sudah tiada.
"Ke-kenapa mendadak, Ma?" tanya Silvanna.
"Memangnya kenapa? Kamu anak Mama dan masih menjadi tanggung jawab Mama. Apa salahnya?"
"Ma, aku udah dewasa. Aku berhak menentukan jalanku sendiri."
"Diajari siapa kamu bicara begitu sama Mama? Jangan-jangan perempuan tak berguna itu yang sudah mencuci otak kamu, iya kan?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rider Angel
FanfictionUntuk menutupi kabar pacarnya yang sudah meninggal akibat kecelakaan motor di track road race, Silvanna rela memegang peran ganda. Gadis ini harus mengimbangi 'suka dan tidak suka' untuk menjalani kenyataan hidupnya. Jalanan bukan kehidupannya, sert...