12. Deep Hope

111 15 65
                                    

"Oh iya, Gran. Kok lo kepikiran buat bikin rencana penangkapan Alice, sih?" tanya Silvanna selama perjalanan mereka ke kendaraan masing-masing.

"Karena gue yakin kalo Alice punya niatan jahat sama lo. Makannya gue inisiatif. Bukan apa-apa, karena gue khawatir sama lo," ucap Granger.

"Khawatir? Atas dasar apa? Lo kan tau kalo kehidupan gue nggak jauh-jauh dari hal yang beginian," kata Silvanna.

Granger tak langsung menyahut. Seperti ada yang dikumpulkannya dalam diam sebelum mengatakan sesuatu.

"Gue khawatir karena gue peduli sama lo," ucap Granger mengundang tatap dari Silvanna. "Gue sayang sama lo!"

Terdengar begitu ringan meskipun Granger mengungkapkannya setengah mati.

Silvanna tak bisa berpura-pura tidak mendengarnya. Kalimat itu sangat jelas terdengar, apalagi di tempat yang cukup sepi seperti ini. Silvanna menunduk ketika Granger menatapnya. Ada sedikit rasa tidak enak yang muncul di hatinya. Rasa gugup bercampur aduk dengan ketidaksangkaannya.

"K-kenapa gue, Gran?" tanya Silvanna terbata.

"Karena hati gue yang minta." Jawaban pasti dari mulut Granger kembali membuat Silvanna menarik napas dalam.

Suasana yang sebelumnya tenang, berubah menjadi canggung. Tak ada sepotong kata yang terucap dari mulut keduanya saat ini. Silvanna sibuk berpikir, sementara Granger sibuk mencari letak kesalahan pada kata-katanya. Namun, tak ada yang salah dengan perkataan Granger. Semua benar adanya.

Di tengah diam itu, Granger mulai mencairkan suasana. "Gu-gue nggak maksa lo, Sil. Gue cuma mau ngungkapin apa yang gue rasain aja," kata Granger berharap tak ada lagi diam di antara keduanya. "Gue juga nggak tau dari kapan rasa ini muncul. Yang gue tau dan sadari, rasa yang dulu pernah gue rasain sama Maminya Lova, kembali gue rasain saat bersama lo."

Kepala Silvanna mendongak, memburu dua iris yang masih berfokus pada matanya. "Tapi kita belum kenal lama, Gran. Gimana bisa lo yakin kalo lo sayang sama gue?"

"Waktu hanyalah soal durasi dan angka. Soal perasaan, tidak tergantung pada keduanya. Jika hati sudah berlabuh pada dermaga yang tepat, sekilas apapun perkenalan kita, tetap berujung pada cinta yang harus diperjuangkan."

Silvanna kembali diam, tak berani bicara selama rasa gugupnya menjalar ke seluruh tubuhnya saat itu. Pria dewasa ini sangat pandai membuatnya berpikir dalam-dalam.

Di sisi lainnya, kediaman Silvanna dianggap Granger sebagai sebuah 'keberatan' dari gadis itu. Ia bisa membacanya walau sedikit. "It's ok, Silva. Lo nggak perlu mikirin kalimat gue tadi. Gue menyadari siapa gue," kata Granger yang kembali memecahkan kebisuan. "Gue pernah menikah dan sekarang memiliki satu putri. Berbeda dengan lo yang masih muda, fresh, dan memiliki jalan yang panjang. Jadi gue ngerti dengan keberatan yang lo rasakan kalau berhubungan sama gue."

"Bukan gitu, Gran!" buru-buru Silvanna menyanggah pendapat Granger. "Gue sama sekali nggak punya pikiran kayak gitu," Silvanna lepas dari kediamannya. "Usia hanya angka, dan kehidupan lo yang sebelumnya bisa menjadi pembelajaran di kemudian hari," lanjut Silvanna. "Yang gue takutin, lo bakal menyesal kalo berhubungan sama gue, Gran."

"Emang kenapa? Apa yang salah dari lo? Apa yang gue nggak tau tentang lo?"

"Banyak!" jawab Silvanna langsung. "Gue nggak sebaik yang lo kira. Banyak sisi buruk yang ada pada diri gue yang bakal bikin lo menyesal."

"Sekarang tunjukkin, apa itu?"

Silvanna kembali diam, menatap Granger dengan genangan air mata di pelupuk matanya.

Dari ekspresi Silvanna, Granger tidak mau memaksa lebih lagi. Dari raut wajah gadis itu menunjukkan bahwa banyak yang ia ingin simpan dulu. Dari kemerahan yang muncul di sekitar wajahnya, terlihat bahwa banyak yang ingin dikeluarkan Silvanna, cerita-cerita kelam yang mungkin pernah memberatkan hidupnya hingga harus terjerumus pada pergaulan seperti ini.

Rider AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang