Pekan olahraga kotamadya jadi pekan yang disukai banyak anak sini. Karena cuma di pekan ini kami diperkenankan pulang lebih awal.
Kami semua dikerahkan untuk mendukung pertandingan basket tim putra di putaran final liga basket antar sekolah di kota ini. Tentu saja, gak terkecuali aku, Kimmy, dan Tasha yang datang bukan cuma untuk nonton tim basket tanding, melainkan lebih buat kasih semangat ke Kanya yang mau tampil.
Pertandingan diselenggarakan di salah satu gor di pusat kota ini. Semua berbondong-bondong berangkat ke sana. Ada yang naik motor, mobil, sampai sewa angkutan umum rame-rame. Iya, beberapa kali pekan olahraga diselenggarakan memang fokus kami bertiga selama ini cuma ada di Kanya. Tapi kali ini berbeda.
Ada yang lain, terutama bagiku.
Gak bisa kupungkiri, kedatanganku juga untuk mendukung dia yang diam-diam kunantikan pertemuannya. Walau sebisa mungkin kubuat alami, bahwa pertemuan kami murni karena gak sengaja papasan saja.
"Lam!" panggil Kaleb beres terima telepon, sesaat sebelum kami sama-sama masuk ke gor.
Kuberi kode pada tiga temanku yang lain untuk duluan saja.
"Gimana lukanya?" bukaku, sungguh itu hal pertama yang ingin aku tau.
Kaleb menyunggingkan senyuman, "Udah bisa senyum gak pakai perih lagi, kok. Aman. Makasih, ya," ucapnya disusul usapan ke kepalaku.
"Anyway," buru-buru kusela sebelum aku tampak makin kikuk, "Hari ini kamu turun ke lapangan apa gimana?"
Sekali lagi kuperhatikan bekas luka di wajah Kaleb yang memang sudah jauh membaik.
Meski gor ini ramai dengan lalu-lalang kakak kelas cewek, entah kenapa, rasanya selalu aman kalau sudah di dekat Kaleb. Bahkan meski aku tahu kemungkinan terburuknya seperti apa. Dan meski aku lihat sendiri kalau Kaleb pun tetap nggak bisa bela diri karena sampai luka-luka waktu itu.
Tapi rasa aman itu bikin aku nggak cemas ada di dekat Kaleb meski di ruang publik begini.
"Tanding, dong. Masa pemain terbaik gini gak diturunin," candanya. Sejenak ia seperti mengamati sekelilingku. "Kamu ke sini sama temen-temen aja?" tanya Kaleb.
"Emangnya harusnya sama siapa lagi? Babeh gak bisa ikut, harus jaga sekolah," balasku dengan candaan.
"Ya barangkali ada siapa lagi gitu, yang anter kamu," ucapnya.
Entah ke mana arah obrolan Kaleb ini. Aku gak ingin berasumsi. Buru-buru kualihkan obrolan ini pada jaket maroon yang selalu dikenakan Kaleb, jaket sama yang ia pinjamkan untukku di kejadian itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Uncut (Completed)
Roman d'amour15 tahun berlalu setelah masa SMA-nya, Nilam Anjani berpikir mungkin memang semua ini cukup dikubur, nggak perlu ada yang tahu. Sampai satu hari novel lawas yang ia buat karena kejadian besar di masa sekolahnya itu naik ke layar lebar, menariknya k...