Kabar soal kasus aborsi kakak kelas kami jadi perbincangan hangat hingga hari ini. Tentunya bukan dariku yang sengaja menyebarkan.
Kabar macam ini menyebar dengan sendirinya bahkan tanpa ada yang tahu awal mulanya dari siapa. Dan sampai detik ini, aku masih sering bengong memikirkan bagaimana bisa hal-hal ini terjadi di sekolah yang notabene populer dan terdepan di kota ini.
Lebih tepatnya, bagaimana bisa kebobrokan demi kebobrokan ini nggak tercium oleh siapapun di luar sana.
"Nilam Anjani, sini tarik bangku ke sini," suara Bu Rena yang sedang evaluasi bulanan memecah lamunanku.
Aku sudah tahu apa yang bakal dia bicarakan. Rapot bayangan sebelum ujian kenaikan kelas sedang dibagikan. Dan aku tahu kenapa namaku dipanggil sekarang. Nggak lain dan nggak bukan pasti soal rapotku yang masih nggak memenuhi standar nilai.
"Aduh, gimana sih ini teh, Neng," keluh Bu Rena begitu aku duduk.
"Iya, saya tahu, Bu," jawabku sambil memandangi nilai-nilai di rapotnya.
Bu Rena membalikkan kertas itu, kemudian melipat tangan di meja. Ia menghela napas seraya meletakkan kacamatanya ke meja.
"Jadi, gimana atuh? Dua minggu lagi ujian kenaikan kelas," katanya bingung sambil memijat-pijat kepalanya.
Tiga temanku di bangku memandang resah saat aku menoleh ke belakang. Pasalnya, meski nilai Kimmy juga nggak bagus-bagus amat, akulah yang paling ada di ujung tanduk. Dan tidak naik kelas itu bukan cuma ancaman di sekolah ini. Beberapa kakak kelas sudah pernah mengalaminya.
"Saya jadwalkan kamu belajar sama kakak kelas, ya? Sama Banyu," kata Bu Rena menawarkan solusi yang paling nggak aku duga dan harapkan detik ini.
"Duh, Bu. Saya cari orang sendiri, deh. Ganti kakak kelas aja. Sama Kang Kaleb. Saya juga nanti bilang sama Ibu saya, minta les sekalian," aku panik.
"Ya sok les, tapi di sini, saya tetap jadwalkan kamu bimbingan sama Banyu. Bukan sama Kaleb. Sama Kaleb mah moal beres, kalah diajak mabal*."
Bu Rena beralih mengeluarkan kertas lain dan meletakannya di meja.
"Ini, kemarin sudah dibagi-bagi juga, anak-anak yang memang pernah menang olimpiade. Kamu kebagian teh sama Banyu, anak kelas XII IPA 2. Tahu kan, Banyu yang mana? Mantan ketua MPK," ucap Bu Rena menunjukkan daftar nama di hadapanku.
Seketika aku lemas.
Dua tanganku bertumpu di meja memegangi kepala yang mendadak terasa pusing bukan main. Bukan soal kemungkinan aku nggak bisa masuk IPA. Kalau itu sih, sejak awal aku memang nggak tertarik masuk IPA. Melainkan, kemungkinan aku harus ketemu sama Banyu. Orang yang paling kuhindari belakangan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Uncut (Completed)
Romance15 tahun berlalu setelah masa SMA-nya, Nilam Anjani berpikir mungkin memang semua ini cukup dikubur, nggak perlu ada yang tahu. Sampai satu hari novel lawas yang ia buat karena kejadian besar di masa sekolahnya itu naik ke layar lebar, menariknya k...