"Dari siapa, Sayang?"
Aku tertegun memegangi amplop putih yang barusan diserahkan oleh petugas apartemenku. Belakangan ini aku memang sedang begitu rajin menanti surat. Jawaban atas kiriman ajuan beasiswa magisterku ke sebuah lembaga kursus film di luar negeri.
Namun, hari ini, hatiku seperti tercekat saat kubaca siapa nama pengirimnya. Nama yang sudah begitu lama tak pernah kulihat, kudengar, dan kusentuh.
Setahun ini mungkin aku masih bisa berpura-pura, menutupi segala hal soal masa sekolahku dari Aksa. Tapi tidak dengan malam ini.
Aku langsung terduduk lemas dan air mataku menitih ke atas amplop putih ini. Lututku yang baik-baik saja mendadak kehilangan tenaganya untuk menopang tubuhku.
"Ya ampun, what's wrong," ucap Aksa buru-buru meletakkan barang belanjaan kami dan menghampiriku dengan gusar. Ia raih amplop itu dari tanganku, kemudian mendongak, menatapku bingung campur resah.
"Banyu? Who is he? You wanna talk about this now?"
Aku tahu, mau seberapa pun aku menyembunyikan segalanya, lambat laun semua akan kembali menampakkan dirinya lagi. Termasuk dia, yang selama ini masih saja kerap muncul dalam mimpi-mimpiku. Tak jarang meninggalkan sesak dan debar jantung gak karuan saat aku terbangun tengah malam. Selalu begitu sejak dulu. Gak di mimpi, gak di kenyataan.
Aku mengangguk pelan sambil mengusap air mataku.
Kupandangi lagi amplop yang kini dipegang oleh Aksa dan berusaha mengumpulkan nyaliku untuk membicarakannya.
Ini bagian terberat dalam kenangan masa sekolahku.
📝
Senin, tepat dua hari setelah pengumuman kelulusan.
Pagi itu, matahari cerah dan awan terlihat bersih. Mungkin, kalau saat itu awannya difoto hasilnya akan bagus banget. Harusnya, anak kelas sebelas dan sepuluh masih libur hari itu. Namun, entah kenapa kami dikumpulkan.
Pengumuman penting katanya.
Aku dan tiga sahabatku yang lain, nggak tahu apa-apa, cuma bisa berkeluh kesah saat datang pagi itu. Harusnya kami masih bisa tidur di rumah pagi itu dan nggak perlu ke sekolah seperti sekarang. Suasana di lapangan besar ini masih seperti biasanya, seperti saat akan diadakan upacara 17 Agustusan. Ramai dengan misuh-misuh mereka yang malas datang.
Namun nggak di barisan kelas dua belas.
Aku pikir, mungkin mereka masih stres karena harus menghadapi ujian seleksi masuk universitas. Seperti halnya Saka dan Saga dulu. Lalu kemudian terdengar suara dengung dari mic yang digeser. Kepala sekolah kami berjalan dan berdiri ke depan.
Hari itu, hampir semua guru lengkap ada di sana. Lagi, selayaknya upacara 17 Agustus yang orang-orangnya sengaja datang untuk kemudian pulang sehabis ini.
Aku pikir, ada berita besar. Mungkin, prestasi sekolah. Pencapaian dari kelulusan kakak kelas kami.
"Selamat pagi anak-anak, mohon perhatiannya," buka Kepala Sekolah saat itu.
Suara bisik-bisik anak mengobrol masih terdengar.
"Hari ini kita berkumpul untuk berdoa bersama."
Barulah saat kalimat itu dibunyikan, semua hening. Benar-benar hening.
Seperti ketika ada razia dan satu persatu terancam dihukum. Bahkan lebih hening dari itu.
Aku menoleh ke arah Kimmy yang raut mukanya sama bingungnya denganku. Ada jeda yang cukup lama sebelum kemudian Kepala Sekolah kami kembali mendekatkan mic-nya dan membaca kertas yang ada di genggamannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School Uncut (Completed)
Romance15 tahun berlalu setelah masa SMA-nya, Nilam Anjani berpikir mungkin memang semua ini cukup dikubur, nggak perlu ada yang tahu. Sampai satu hari novel lawas yang ia buat karena kejadian besar di masa sekolahnya itu naik ke layar lebar, menariknya k...