02 | Woman's Talk

162 28 17
                                    

"Betul kan kata gue," ucapku sambil mengempas bokong di kursi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Betul kan kata gue," ucapku sambil mengempas bokong di kursi. "Dapat proyek lagi dari mereka. Restoran tepi laut di Bali."

"Charitas?" tanya Wina tanpa menoleh. Tangannya sibuk menggerakkan mouse.

"Hu uh."

"Asyik. Lu ke Bali dong entar?"

"Kalau diajak," ujarku sambil membuka laptop yang sedari pagi belum dinyalakan. "Dan kalau diizinin sama Mas Yori."

"Wah. Mulai keberatan lu kerja, nih?" Kali ini dia berhenti bekerja dan menatapku serius.

Aku mengedikkan pundak. "Nggak terus terang sih bilangnya. Tapi kayak anggap sepele pekerjaan gue, gitu loh! Masa dia nyuruh gue ambil cuti satu minggu – seven days in a row! Sepuluh hari kalender."

"Wow."

"See? Dia kira ini perusahaannya, kali. Sebebasnya mau cuti berapa lama."

Wina tak menjawab. Dia kembali sibuk dengan proyeknya. Aku juga meneruskan desain lobby hotel di Dharmawangsa. Namun topik kami barusan membuat konsentrasiku agak terganggu.

Aku sudah bosan sekali setiap kali Mas Yori mengajakku bulan madu. Memang sih seperti katanya tadi pagi, itu adalah bulan madu yang tertunda. Usai resepsi pernikahan kami dulu, perutku tiba-tiba melilit. Badanku begitu lemas sampai-sampai aku harus menginap di rumah sakit dan diinfus. Sial banget, ya? Malam pertama saja batal gara-gara itu. Izin cuti pengantin baru yang hanya tiga hari – ditambah cuti pribadi dua hari – kuhabiskan di kamar pasien. Benar-benar bulan madu yang menyedihkan.

Sejak itu, Mas Yori kerap memintaku cuti menjelang ulang tahun pernikahan kami. Sudah dua tahun berlalu, belum pernah terlaksana. Tahun pertama, ibuku meninggal dunia. Tahun ke dua, adik Mas Yori menikah. Tidak mungkin kami tidak datang. Dia satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga mereka.

Sekarang dia mengajak bulan madu saat aku tengah menikmati kehidupan wanita karir. Saat aku sedang semangat-semangatnya mengerjakan proyek ke tiga sebagai seorang desainer interior. Kan bagus untuk portofolio kelak. Siapa tahu ada perusahaan yang mencari seorang dengan pengalaman kerja proyek apartemen dan hotel bintang empat seperti aku.

"Gue agak heran," celetuk Wina tiba-tiba. "Suami lu kan punya usaha sendiri. Konsultan jasa bangunan juga, kan?"

Aku sudah tahu arah pembicaraan ini.

"Menurut gue ya Win, lebih gengsi aja sih kerja di perusahaan besar ketimbang di perusahaan suami."

Kalau menurut kalian aku tidak punya perasaan dengan bicara begitu, terserah. Tapi sejak dulu aku melihat diriku sebagai seorang CEO di perusahaan bonafid. Kita perlu mengejar impian, kan?

"Gue malah kepingin punya usaha sendiri," sahut Wina lagi. "Seru juga loh, merintis usaha itu. Apalagi kalau kerja sama suami istri juga bagus. Memulai dan mengakhiri hari kerjanya bareng."

Aku mencibir. "Kayaknya kalau aku sama suami terus selama 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, aku bisa mati karena bosan."

"Kalau lu sampai bosan ketemu suami," dia memutar kursi sedikit agar bisa menghadapku. "berarti ada yang salah dalam kehidupan cinta lu."

"Sok tahu lu ah." Sontak wajahku panas.

Mengingat sudah beberapa bulan ini aku menolak berhubungan intim, sebenarnya Wina benar. Aku tidak lagi bergairah pada suamiku. Entah apa penyebabnya. Padahal sudah dibantu dengan nonton film biru, loh. Lingerie seksi juga sudah lumayan jumlahnya. Tetap saja tidak kepingin.

"Jangan ngelak. Kelihatan kok dari tampang lu, nggak pernah orgasme."

Mulutku sampai terbuka mendengar kata-kata Wina. Serius kelihatan?

Detik berikutnya aku tahu Wina sudah mengecohku. Pundaknya berguncang sambil terpingkal-pingkal.

"Lugu banget sih lu, ya Allaaah. Tapi tebakan gue berarti benar, kan?" Dia masih terkekeh. Menyebalkan banget kadang, punya teman kayak begini. Seenaknya saja mengecoh untuk mengorek cerita.

"Bodo amat."

"Kenapa bisa nggak nafsu sama suami lu?" kejarnya tanpa perasaan. Jadi bukan cuma aku kan, yang suka bicara kejam? Makhluk berambut sepundak dan bermata kecil ini juga sama saja.

"Nafsu kok," jawabku sama cueknya. "Tapi udah keburu capek aja tiap malam."

"Nah! Itu tuh masalah lu. Kecapean. Gimana mau bikin anak kalau pikiran sama badan lu ditekan kerja keras seharian, setiap hari pula?"

Kok dia jadi Mas Yori ke dua? Ih.

"Jadi lu ada saran nggak? Cara bikin anak yang manjur? Sekali main jadi?"

"Lu kira pabrik!" Dia menatapku ngeri. "Gituan tuh dinikmati dong, Net. Sepenuh hati. Jangan karena tekanan."

"Gimana nggak tertekan. Biaya menghidupi anak zaman sekarang kan besar banget. Belum apa-apa gue udah stress."

Tatapan ngeri tadi berubah menjadi tatapan iba.

"Lu mencemaskan hal-hal yang belum terjadi, Net," katanya pelan.

"Gue berusaha berpikir jauh ke depan," ralatku seraya mengambil bekal dari atas lemari berkas. Bahkan demi penghematan dan menabung lebih banyak, aku selalu membawa bekal dari rumah.

Wina kembali menatap layar laptopnya.

"Gue saranin, ikuti aja maunya suami lu, Net. Bulan madu gih. Kan belum sempat juga selama ini."

"Ogah. Kelamaan banget sepuluh hari. Kerjaan gue gimana? Anniversary kami tuh tiga bulan lagi. Menurut rencana kerja, tiga bulan lagi kita udah masuk ke pengerjaan interior. Gue bakalan sibuk."

Mungkin karena nadaku tiba-tiba galak, Wina tidak meneruskan debat kusir kami. Dia berdiri, menepuk pundakku pelan sambil melewati belakang kursi.

"Ya udah. Cuma saran aja. Nggak setuju, nggak apa-apa. Gue beli bekal dulu, ya."

Sepeninggalnya, aku memikirkan lagi pembicaraan kami.

Nggak pernah orgasme.

Memang benar, sih. Bagaimana mau menikmati hubungan suami istri kalau pikiranku penuh dengan rencana esok hari dan desain apa yang akan memuaskan klien. Kepuasan pelanggan itu nomor satu!

Namun seketika itu juga aku seperti mendengar sindiran Mas Yori beberapa hari lalu di dalam kepala.

Kepuasan kita nomor berapa, Ta?

Kepuasan kita nomor berapa, Ta?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tingly Little ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang