Kalau di kantor, waktu rasanya cepat banget berlalu. Baru seduh kopi, tiba-tiba sudah waktunya makan siang. Sedangkan di rumah sakit ini, aku nyaris mati kebosanan menunggu waktu kunjungan dokter. Padahal baru berapa jam tuh.
Sambil menunggu pukul sebelas, Yara membawa Ibu ke kantin, Ibu gelisah terus melihat anaknya belum sadar-sadar juga. Aku juga takut sih, tapi kukuat-kuatkan saja. Segala pikiran buruk kubuang jauh-jauh. Siapa juga yang nggak cemas melihat orang yang paling disayang masih pingsan setelah hampir dua belas jam?
Tadinya aku mau mengerjakan desain saja sambil menunggu dokter, tapi terus ingat kalau tugasku sudah diambil alih Pak Alva. Sekarang tugasku apa ya? Kalau nggak ada yang dikerjakan, bisa-bisa aku stress. Aku butuh pengalihan.
Ponsel Yori yang tergeletak di nakas pasien langsung menarik perhatian. Sejak tadi malam setelah menerimanya dari Mas Bayu, aku belum pegang lagi. Iya, aku tahu membaca pesan WhatsApp pasangan itu melanggar privasi, tapi aku harus memeriksa grup konsultannya. Aku harus beritahu timnya tentang keadaan bos mereka.
Aku duduk berselonjor di tempat tidur dan membuka iPad. Grup Yori Consultant and Home Designer disematkan di bawah namaku. Ada lima anggota yang punya posisi sebagai ahli mekanikal elektrikal, sipil, akuntan, dan desainer interior. Satu lagi tentu Yori sendiri, arsitek perencana.
Kugulir layar ke atas, mencari tahu tentang apa yang sedang mereka kerjakan. Rupanya mereka baru saja menyelesaikan proyek rumah pelesir salah satu pejabat bank. Wow. Dari sketsa yang kutemukan dalam folder media, rumahnya tiga tingkat di atas tanah satu hektar. Seketika aku ingin jadi bankir.
Ah, iya. Mungkin dari proyek ini Yori dapat banyak untung, makanya bisa mengajakku ke Korea sepuluh hari. Kubaca obrolan terbaru. Ternyata sekarang mereka sedang mengerjakan proyek pembangunan motel di daerah pantai Sanur. Kalau begitu, seharusnya dia nggak keberatan dong andai aku dikirim ke Bali?
Tiba-tiba sudut mataku menangkap sesuatu. Botol infus bergerak. Berarti tangan Yori menariknya? Cepat aku melompat turun lalu mendekati tempat tidur. Jantungku berdebar keras. Apa dia sudah sadar?
Yori membuka mata, mengerjap beberapa kali lalu memicing lagi. Kusentuh tangannya yang diinfus.
"Mas?"
Yori mengerang pelan. Kelopak matanya bergerak-gerak, membuka sedikit. Ya ampun! Gerakan sekecil itu pun sudah membuatku senang. Kuusap punggung tangannya penuh sayang.
"Mas, masih pusing?"
Belum sempat dia menjawab, pintu kamar terbuka. Laki-laki berjubah putih dengan stetoskop menggantung di leher tersenyum ramah. Satu perawat berseragam biru muda ikut mendampingi.
"Selamat pagi, Bu," sapa Dokter yang terbilang senior itu. "Sudah bangun ya, suaminya? Saya periksa dulu ya."
Aku berdiri di kaki tempat tidur sementara beliau mendekati Yori.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingly Little Things
RomantikMenurut Netta, pernikahannya dengan Yori sudah cukup bahagia tanpa harus ada anak. Apalagi keduanya bekerja. Kalau ada anak, sudah pasti dia yang harus berhenti kerja. Netta tidak mau. Dia cinta pekerjaannya. Tidak ada yang harus berubah selama mere...