Ruang tunggu di depan IGD tidak terlalu ramai sehingga aku bisa mendapatkan tempat duduk yang agak terpisah dari orang lain. Di balik pintu berkusen putih di seberangku, paramedis sedang menangani Yori. Tadi aku di sana, tapi karena mukaku pucat, seorang perawat menyarankanku duduk menunggu di luar. Dia berjanji akan segera memanggilku jika diperlukan.
"Mbak mau saya belikan minum? Kopi mungkin?"
Aku tersentak. Kutatap orang yang bertanya dari bangku di hadapanku. Ternyata orang yang tadi mengantar Yori. Aku barusadar kalau dia masih menunggu.
"Nggak perlu, makasih." Kupaksakan sebuah senyum tipis. "Makasih juga udah nolong suami saya, ya. Dan menghubungi saya."
"Sama-sama, Mbak." Dia mengangguk hormat, mengamati wajahku dengan seksama. "Saya belikan aja ya. Soalnya Mbak pucet. Takut kenapa-kenapa, padahal suami Mbak membutuhkan Mbak, kan."
Hm, masuk akal sih. Malu-malu aku mengangguk dan orang itu berlalu. Siapa ya, namanya? Pasti orang sekompleks, kan, melihat dari kostumnya yang santai betul, hanya kaus tanpa leher dan celana pendek berkantung banyak. Seperti outfit pendaki gunung.
Sambil menunggunya, aku kembali menggulir layar ponsel, mencari nomor Ibu. Sejak tadi aku belum sempat memberitahu siapa pun. Namun seketika sebuah suara berbisik di dalam hatiku.
Ini sudah malam. Gimana kalau Ibu jadi panik dan nggak bisa tidur? Tekanan darahnya bisa naik. Kucoba memikirkan seandainya aku ini Yori. Apa yang akan dia lakukan? Pasti menunda memberitahu sampai pagi hari, ketika Ibu sudah cukup tidur, kan?
Ya sudah, besok pagi saja.
Tiba-tiba sebotol minuman terulur di depanku. Aku menengadah ke pemberinya yang berdiri di sebelah bangku, menunduk sambil tersenyum tipis.
"Makasih, Mas, eh, nama Mas siapa, ya?" tanyaku seraya mengambil air mineral dan membuka segelnya.
"Bayu. Rumah saya di jalan Harimau, nggak jauh dari penjual martabak itu." Dia lewat di depan kakiku, lalu mengempaskan diri di ujung bangku metal yang bisa diduduki oleh empat orang. "Kebetulan lagi antri martabak juga."
Oh, jalan Harimau. Dulu waktu beban pekerjaanku belum banyak, aku dan Yori sering jalan pagi keliling kompleks dan melewati jalan Harimau, karena kebanyakan rumah di situ besar dan bagus. Wajar, dia kan pengabdi arsitektur.
"Mas, gimana ya tadi kejadiannya?" tanyaku.
Menurut keterangan Mas Bayu, sebuah motor dengan kecepatan tinggi tiba-tiba melintas saat suamiku menyeberang. Yori terpental ke trotoar, sedangkan si penabrak sempat oleng kemudian kabur. Mas Bayu kebetulan sedang berdiri di trotoar itu.
"Langsung kalut semua. Malah ada pelanggan, anak muda, yang langsung inisiatif ngejar si penabrak. Tapi keburu belok entah di mana jadi kehilangan jejak."
Aku termenung menatap ujung sandal jepitku. Ya Tuhan, kasihan sekali suamiku. Padahal dia begitu baik, begitu lembut, tidak pernah menyakiti orang lain. Kenapa sial banget nasibnya,
"Makasih ya, sudah nolong suami saya." Kuulas senyum tulus. "Makasih juga udah tanya dulu apa saya lagi duduk atau enggak."
Dia tertawa kecil. "Belajar dari pengalaman aja. Dulu pernah panik dan kasih kabar duka ke saudara saya, nggak pakai tanya dulu. Rupanya dia lagi nyetir. Hampir aja tabrakan."
Astaga. Aku harus ingat bertanya pada Ibu sebelum cerita tentang Yori, sedang apa dia.
Pintu IGD terbuka dan seorang perawat memanggil namaku. Segera aku berdiri, mengangguk pada laki-laki di sebelah. Dia juga berdiri, dan aku tahu dia mau pamit.
"Makasih sekali lagi, Mas," kataku sambil mengulurkan tangan.
"Sama-sama. Saya pamit, ya. Semoga suaminya baik-baik aja."
Setelah dia berlalu, aku segera menyusul perawat. Apa Yori sudah sadar? Jantungku berdebar saat mendekati tempat tidur beralas sprei putih itu.
Mata Yori tertutup dan kepalanya dikompres. Tangannya tergeletak lemah di sisi tubuh. Kupeluk tas selempangku erat, mencari kekuatan. Ngilu rasanya melihat dia terbaring tak sadarkan diri. Berbagai kemungkinan buruk melintas di kepala.
Mas, kamu nggak apa-apa kan?
"Ibu Netta Selina?" Panggilan lembut itu mengagetkanku. Perawat berseragam biru pastel sedang tersenyum menatapku.
"Saya."
Perawat yang masih muda itu menjelaskan kondisi Yori. Beruntung tidak ada pendarahan yang parah, katanya, tapi ada sisi kepala yang bengkak. Apalagi Yori tidak sadarkan diri.
"Apa harus operasi, Sus?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Kita lihat dulu saja ya Bu, dua hari ini. Sekarang Bapak harus kita pindahkan ke kamar. Silakan Ibu ikut saya, milih kamar kelas berapa."
Aku mengikutinya ke lobby. Otakku mumet memikirkan beberapa hal sekaligus. Aku belum membawa pakaian ganti. Menelepon Pak Alva untuk minta izin. Mengambil laptop supaya bisa tetap bekerja. Menelepon Ibu besok pagi. Meminta bantuan adik iparku untuk menggantikanku sebentar di rumah sakit sementara aku pulang untuk mengambil pakaian kami.
Terlalu banyak untuk dipikirkan sendiri.
Setelah mendapatkan kamar, aku menghubungi adik iparku, Yara.
"Jangan kasih tahu Ibu dulu ya, Ra. Besok aja. Takutnya Ibu panik," kataku sambil mondar-mandir di kamar yang cukup luas itu. Ada sofa dan tempat tidur untuk keluarga pasien, jadi aku bisa minta tolong Yara menginap di sini kalau perlu. Dia satu-satunya adik Yori yang belum menikah.
"Oke, Kak."
"Terus, tolong kamu ke sini, ya, ambil kunci rumah. Aku perlu pakaian ganti, charger, laptop."
Aku terus melanjutkan daftar barang yang kuperlu. Pakaian Yori. Perlengkapan mandi. Termasuk roti dan kopi. Untunglah Yara punya motor, bisa lebih cepat datang.
Sambil menunggu, aku berbaring di sofa dan meringkuk di balik selimut tipis yang disediakan rumah sakit. Di tempat tidur di hadapanku. Yori masih tidak sadarkan diri. Sudah beberapa kali perawat keluar masuk untuk memeriksa infus dan mengganti kompres di kepalanya. Tadinya aku yang diminta melakukan itu, namun ketika pergantian shift, suster berikutnya memintaku istirahat saja.
Kuamati dada yang bergerak turun naik dengan perlahan. Mendadak rasa takut dan cemas menyelinap. Berapa lama waktu yang dia perlu ya, sampai sadar lagi? Membayangkan malam ini tidak bisa mendengar rayuan gombalnya, sudah kepingin menangis rasanya.
Aku kangen, Mas. Cepat sadar, ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingly Little Things
RomanceMenurut Netta, pernikahannya dengan Yori sudah cukup bahagia tanpa harus ada anak. Apalagi keduanya bekerja. Kalau ada anak, sudah pasti dia yang harus berhenti kerja. Netta tidak mau. Dia cinta pekerjaannya. Tidak ada yang harus berubah selama mere...