Mataku terpejam menikmati ciuman Yori. Lama-lama aku membalas tak kalah panas. Gila, sekangen ini aku ternyata.
Lalu tiba-tiba Yori menjauhkan bibirnya dari bibirku, tangannya yang kekar memegang pinggang. Aku menengadahkan kepala. Dari cahaya yang masuk dari ventilasi di sepanjang ruang tamu, kulihat sepasang mata itu mengedip nakal.
"Mau lanjutin di velvet class kita?" Yori menundukkan kepala hingga kening kami nyaris bertemu. Napasnya hangat. Tangannya yang sedang mengusap punggungku juga hangat.
"Lanjutin apa?" Pita suaraku bergetar. Tentu saja aku tahu banget apa maksudnya, tapi kepingin dengar langsung.
"Lanjutin yang tadi."
Yori menekankan tubuhnya lebih rapat. Digenggamnya kedua tanganku, diangkat ke sisi kepala. Aku sudah ingin pasrah dan menikmati cumbuannya ketika menyadari satu tanda bahaya.
"Kamu kenapa panas gini?" tanyaku cemas. "Kamu demam! Minum parasetamol terus tidur ya?" Kuputar pergelangan tangan supaya lepas dari genggamannya.
Tapi tenaga Yori bukan tandingan. Dia malah menekan kedua tanganku di dinding hingga aku tak bisa bergerak. Dia menyeringai tipis.
"Kamu itu memang lugu ya?" ujarnya gemas. "Badanku panas bukan karena demam, Sayang. Tapi karena lagi kepingin."
Yori tidak lagi memandang ke dalam mataku, tapi ke bibir. Aku meneguk saliva saat Yori menggigit bibir bawahnya. Gerakannya lambat sekaligus mendebarkan. Dia menunduk, bibirnya semakin dekat, dan akhirnya menemukan bibirku.
Kali ini dia tidak pelan-pelan. Ciumannya cepat, tak sabaran, seolah kalau terlepas lebih lama dia tak akan bisa bernapas.
Lalu tiba-tiba dia menggendongku. Tangannya menahan bokongku. Saat ini aku sudah tidak memikirkan bagaimana kalau kami sama-sama jatuh. Aku hanya kepingin meneruskan ini.
Kakiku mengelilingi pinggang Yori. Tanganku mengalungi lehernya. Tanpa melepas ciumannya, dia berjalan dengan hati-hati menuju bioskop velvet class kami lalu membaringkanku pelan-pelan di sofa berlapis beludru.
Dia menyusupkan tangannya di bawah punggungku, lalu mengangkatnya sedikit. Bibirnya segera menemukan bibirku. Kami saling memagut penuh hasrat. Kuelus lehernya dengan lembut. Tangan Yori yang satu lagi mengelus lenganku, kemudian pelan-pelan menyentuh dadaku.
Aku melenguh. Ya Tuhan, aku rindu ini. Aku rindu tangan Yori ada di seluruh tubuhku. Aku ingin dia membelai, meremas, dan menggerayangiku.
Dan seperti bisa membaca pikiran, Yori melepas kancing-kancing kemeja katunku. Dia juga membuka ujung kemeja yang tersimpul di depan pusar lalu dengan cepat menyibakkan kemeja itu ke samping.
Dia terdiam saat melihat bagian depan tubuhku yang telanjang di bawahnya.
"Aku suka yang kulihat."
Dadaku turun naik dengan cepat. Payudaraku mengencang hanya dengan tatapan mata yang penuh hasrat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingly Little Things
RomanceMenurut Netta, pernikahannya dengan Yori sudah cukup bahagia tanpa harus ada anak. Apalagi keduanya bekerja. Kalau ada anak, sudah pasti dia yang harus berhenti kerja. Netta tidak mau. Dia cinta pekerjaannya. Tidak ada yang harus berubah selama mere...