10 | Drawing Therapy

90 15 1
                                    

"Jangan down gitu, Net," hibur Wina sambil mengunyah sesuatu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jangan down gitu, Net," hibur Wina sambil mengunyah sesuatu. Aku baru bisa menelponnya di jam makan siang. "Kan belum seminggu sejak pulang. Tenang aja, masih wajar kok."

"Duh, wajar sih wajar, tapi gue nggak bisa begini terus dong. Masih pengin kerja nih. Kangen proyek."

"Tenang. Semuanya masih terkendali. Kalau enggak, Bos pasti udah nambahin kerjaan gue dari kemarin." Wina tertawa.

Aku merengut. Ini nggak lucu. Aku benar-benar rindu pergi kerja pagi-pagi, kerja pakai baju resmi, bukan piyama. Kerja di meja kerja, bukan di meja makan. Sekarang aku malah duduk di lantai dan bersandar pada sofa. Laptop kuletakkan di meja ruang keluarga.

Apa lagi kira-kira yang bisa memulihkan ingatan Yori padaku? Dulu waktu pacaran, kami suka ke kafe atau bakery di mana orang bisa makan di tempat. Misalnya Tous Les Jours. Apa aku bawa saja dia ke toko kue? Tapi kami tidak punya tempat makan kue favorit. Dantidak ada yang istimewa dari makan kue bersama.

Kucoba mengingat-ingat lagi. Kalau nonton di bioskop, gimana ya? Memang kami nggak punya bioskop favorit. Pemilihan bioskop tergantung pada film yang ingin kami tonton dan jam tayangnya. Yori suka film laga atau sejenis StarWars. Aku lebih suka film thriller dan horror. Lucunya, kami sama-sama tidak suka film roman. Ada sih yang kami tonton karena filmnya bagus banget dan ramai dibahas teman-teman.

Mataku menatap lurus ke televisi yang menayangkan drama Korea. Tiba-tiba muncul ide brilian. Tentu saja! Kok tidak terpikir dari tadi!

Namun belum sempat memikirkan detailnya, Yori sudah berdiri di ambang pintu kamar dan menatapku.

"Hei. Ada mau apa, Mas? Minum?" Aku berdiri dan menghampirinya.

Dia menggeleng. "Aku ingin duduk. Bosan baring terus."

"Ooh. Boleh. Tapi kalau pusing, baring lagi ya Mas." Kutuntun dia ke sofa. Yori tidak menyahut. "Here we go."

Setelah dia duduk, kuberi bantal sofa ke pangkuannya. Lalu aku merosot dan duduk di lantai. Kuraih laptop untuk membuka folder desain. Besok siang aku sudah harus kirim ke Beny.

"Kamu lagi bikin apa?" Tiba-tiba Yori bertanya setelah beberapa menit.

"Ini?" Aku menoleh untuk melihat mukanya. "Desain proyek kamu, Mas. Ingat Beny?"

Yori menggeleng. Aku mendesah. Sabar, sabar. Kata Wina tadi masih wajar.

"Anak Sipil, kerja di perusahaan kamu. Kemarin Beny minta tolong aku bikin desain kamar motel yang lagi kalian kerjain. Mas ingat?"

Yori masih tetap pada ekspresi datar yang sama. "Aku nggak ingat apa-apa. Belum ingat kalau punya usaha sendiri. Bidang apa, ya?"

"Konsultan Jasa Arsitektur. Mas Yori tuh arsitek lulusan ITB. Masuk dengan jalur prestasi, lagi."

"Masa? Aku sepandai itu?"

"Yes," senyumku.

Yori mengangguk-angguk. "Oke. Udah mulai hafal dikit-dikit. Jadi namaku Yori dan kamu ... Netta, kan?" Aku mengangguk. Yori mengembus napas. "Aku arsitek. Kamu?"

Tingly Little ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang