"Sabar, Kak." Yara mengusap pundakku. Kami duduk di sofa sementara Ibu berbaring di tempat tidur. Beliau juga sedih karena sang putra masih tidak mengenalinya. Hanya Yara saja yang tetap tenang. "Mas kan baru aja diobati. Wajarlah kalau belum pulih betul."
Aku bertopang dagu, kesal dengan keadaan. Terserah Dokter Wira bilang ini hanya gegar otak ringan, tapi berarti Yori belum baik-baik saja, kan? Kok malah disuruh pulang! Bagaimana aku bisa merawatnya di rumah, coba! Kan lebih baik di sini saja. Ada perawat yang selalu memantau kalau-kalau kondisinya memburuk.
Eh, bagaimana kalau Yara tinggal di rumahku sementara ya? Jadi aku bisa tetap ke kantor. Dengan suara pelan aku menanyakan itu padanya, takut didengar Ibu. Pasti mertuaku itu tidak setuju aku meninggalkan Yori sepanjang hari dalam kondisi begini.
"Duh, maaf Kak. Aku bukannya nggak peduli sama Mas Yori, tapi Ibu juga kurang sehat belakangan ini. Cuma aku yang masih tinggal di rumah Ibu," kata iparku itu dengan ekspresi tidak enak hati.
"Oh, iya ya. Masmu juga sempat cerita kemarin, Ibu lagi sakit dan nggak mau dibawa ke rumah sakit. Eh, sakit apa sih Ibu, Ra?" Aku berbisik-bisik, mataku memantau sosok yang sedang kami bicarakan. Masih tidur, untunglah.
Yara mengedikkan pundak. Matanya yang seperti bola itu menyipit sedikit.
"Kayaknya sih cuma sakit pikiran, Kak. Uhm ... sering curcol, kepingin banget gendong cucu."
Aduh. Cucu lagi, cucu lagi.
"Yuriko udah hamil?"
Yara menggeleng. "Mas Adi masih dinas di Palembang. Gimana mau hamil?"
"Kenapa Yuriko nggak ikut?"
"Kayaknya masalah uang, sih. Mas Adi dapat mess, tapi kalau bawa istri dia harus ngontrak sendiri. Mereka nggak punya dana. Kak Yuriko juga nggak mau resign dari pekerjaannya."
"Ooo, gitu." Aku manggut-manggut, mengerti banget keputusan ipar nomor satu itu.
Aku juga tidak mau berhenti kerja selama masih ada tenaga dan kesempatan mengembangkan diri. Ya kali pas sudah lansia nanti tak punya uang untuk merawat diri sendiri! Siapa tahu saja aku butuh perawat di masa tua. Atau Yori membutuhkannya. Atau jangan-jangan kami berdua sama-sama harus dirawat orang lain atau tinggal di panti jompo. Harus ada dana untuk itu.
"Kakak bisa kerja dari rumah, kan? Kasihan Mas Yori kalau ditinggal sendirian di rumah. Takutnya pergi jalan-jalan terus nggak bisa pulang."
Kutatap wajah cemas Yara sambil tersenyum tipis.
"Iya, aku juga takut itu, Ra. Jadi udah pasti aku minta izin kerja dari rumah aja mulai besok."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tingly Little Things
RomanceMenurut Netta, pernikahannya dengan Yori sudah cukup bahagia tanpa harus ada anak. Apalagi keduanya bekerja. Kalau ada anak, sudah pasti dia yang harus berhenti kerja. Netta tidak mau. Dia cinta pekerjaannya. Tidak ada yang harus berubah selama mere...