04 | A Sudden Change

108 21 9
                                    

"Jadi juga bulan madu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi juga bulan madu." Wina menatap layar laptopku sambil menikmati Soto Betawi. Aku yang setiap hari hanya makan sedikit, punya waktu lebih panjang untuk melakukan yang lain-lain setelah makan siang.

"Jadiin aja. Daripada setiap pulang kerja gue dibujuk dan dirayu."

Wina terkikik. "Suamimu tuh termasuk spesies yang harus dilestarikan, tauk. Bahagia harusnya lu, dapat suami sebaik dan seromantis itu."

"Bahagia sih, Win. Tapi eneg juga kalau hampir tiap hari dia ngerayu." Aku menekan konfirmasi pemesanan tiket. "Gue selama ini udah ngitung hari ovulasi, loh! Biar kemungkinan hamilnya lebih besar. Tapi kalau belum dikasih, mau bilang apa?"

"Waw, sampai ngitung masa subur!" Matanya memandangku takjub.

"Supaya nggak percuma kan, usahanya," jawabku kalem. Wina hanya geleng kepala, lalu meneruskan makan.

Sebuah notifikasi muncul, konfirmasi pemesanan tiket. Segera kuperiksa, meskipun sudah tahu berapa besarnya. Sejenak, aku bingung. Mas Yori punya tabungan berapa banyak ya, bisa semudah ini merencanakan perjalanan sepuluh hari? Biayanya pasti besar! Aku memang tidak pernah bertanya tentang keuangan konsultan jasa yang dia bentuk. Aku yakin dia lebih pandai mengurusnya.

"Bingung nggak sih lu, demi bulan madu doang Mas Yori mau keluar uang sampai puluhan juta? Padahal kalau tujuannya cuma supaya punya anak, di rumah juga bisa."

Mendadak Wina terbatuk. Kulihat wajahnya merah padam sementara satu tangannya berada di depan mulut. Sepertinya dia sedang berusaha menahan sesuatu dalam mulutnya agar tidak menyembur.

"Kenapa lu?"

Setelah semuanya baik-baik saja, sahabatku itu menatap dengan sorot iba. "Bikin anak bisa di rumah, kata lu? Buktinya belum hamil juga karena, menurut gue, lu kecapean. Masmu tuh pengin bebasin lu dari beban kerjaan, Net. Dia kangen elu. Pengin punya anak dari elu. Demi itu dia mau bayar mahal."

Kualihkan pandangan ke laptop, meneruskan pekerjaan desain lobby. Kata-kata Wina sama sekali tidak membuatku terharu – kalau tujuannya itu.

"Gue sebenarnya belum pengin punya anak, tahu nggak. Mahal tauk, biaya perawatan, pendidikan, dan investasi masa depannya."

Bukan asal omong ini. Aku sudah mencari tahu tentang biaya melahirkan rata-rata, baik normal maupun sectio. Sudah cari tahu biaya suster untuk membantuku mengurus bayi, karena aku kan bekerja. Juga tentang biaya pendidikan, premi asuransi kesehatan selama sepuluh tahun, premi asuransi pendidikan sampai usianya delapan belas tahun. Belum lagi biaya pengembangan hobi, minat, dan bakat. Mengerikan sekali, kan, punya anak zaman sekarang?

"Kalau gitu, kapan menurut lu punya anak itu nggak mahal?"

"Entahlah. Nunggu sampai gaji gue dua kali lipat dari sekarang, mungkin?" Aku mengedikkan pundak. "Yang jelas kalau sekarang-sekarang ini gue hamil, bakal ribet. Gimana gue mau pergi-pergi naik pesawat ke Bali kalau lagi hamil gede, coba!"

Tingly Little ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang