01 | Life is Nothing but Work

297 54 36
                                    

Sebuah tangan meraih pinggangku dengan lembut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebuah tangan meraih pinggangku dengan lembut. Separuh jiwa rasanya masih di alam mimpi waktu punggungku menempel pada sesuatu yang hangat. Lalu seperti yang sudah kuduga, dia mengendus leher seperti drakula yang siap-siap mengisap darah.

"Mas ... udah pagi ini lho!" erangku malas sambil berusaha melepaskan diri.

"Enggak apa-apa. Pagi justru enak." Yori, suamiku sejak dua setengah tahun lalu, menyasar pundak telanjangku dan mengecup di beberapa tempat. Semakin aku bergerak menolak, semakin kencang tangannya menahan.

"Ini Senin pagi, siapa tahu kamu lupa."

"Memangnya kenapa kalau Senin?" Dia tetap melancarkan aksinya.

Duh. Mentang-mentang punya usaha sendiri. Dia sih boleh bangun kapan saja. Aku kan tidak sebebas itu. Masih wajib kerja untuk orang, belum untuk diri sendiri.

Sebelum niatnya menular, aku membalik badan dan mencium pipinya cepat.

"Sori ya Mas ... Aku harus siap-siap." Kuberikan senyum semanis mungkin. "Hari ini meeting dimajuin, jadi jam delapan. Tahu sendiri bosku kayak apa perfeksionisnya."

Laki-laki kesayanganku itu memasang wajah datar. Dari ekspresinya aku tahu dia kecewa. Barusan aku menolak berhubungan intim. Ya iyalah. Demi Maroon 5 - ini Senin pagi! Hari paling sibuk buat kami, yang sama-sama bekerja.

"Bosmu atau kamu?" tanyanya dengan nada sedikit menyindir. Matanya masih terpejam, kedua tangannya berada di bawah kepala.

Ah, sudah kebal dinyinyirin soal ini.

"Iya deh, aku. Tapi Mas tahu kan, aku tuh selalu gugup setiap kali presentasi di depan klien." Kubelai pipi licinnya. Baru dicukur semalam, sesuai syarat dariku sebelum bercinta. Paling nggak nyaman kalau ada rambut tajam menusuk wajah mulusku ini saat berciuman.

Kelopak matanya membuka. Yori menatapku lembut sementara sudut bibirnya terangkat sedikit. Ditangkapnya tanganku, lalu dicium. Sorot matanya tak bisa kuartikan.

"Kamu terlalu keras sama diri sendiri, Ta," bisiknya lirih.

Duh, kenapa suaranya seksi begini sih? Kan jadi hilang fokus. Cepat kusingkap selimut yang menutupi tubuh kami.

"Udah mau jam enam, loh. Kamu juga harus kerja, kan?" Aku mengingatkan. "Salah satu kebiasaan orang sukses itu bangun pagi, you know. Baca dong buku yang aku beliin tuh."

"Males. Aku bikin usaha sendiri itu supaya hidup lebih santai, Sayang."

"Tetap saja jangan bangun kesiangan dong, Mas. Urusan sama klien tetap pagi, kan?"

Dia menghela napas, kemudian tersenyum lagi. Tapi entah kenapa aku punya perasaan senyum itu ada maunya.

"Aku baca deh, asal kamu mau cuti seminggu buat bulan madu yang tertunda."

Tingly Little ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang