06 | Lie in Wait

93 18 1
                                    

Instrumental Canon in D Major yang lembut membuatku membuka mata

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Instrumental Canon in D Major yang lembut membuatku membuka mata. Mula-mula aku bingung sedang ada di mana, namun saat melihat tempat tidur pasien di seberang dan tiang infus di sebelahnya, aku segera ingat. Cepat aku duduk, mematikan alarm ponsel.

Astaga, sudah jam lima pagi!

"Pagi, Kak."

Terkejut, aku menoleh ke arah suara. Yara berbaring sambil menatapku dari tempat tidur yang seharusnya kupakai malam ini,

"Hei, Ra. Aku ketiduran rupanya." Kukucek mata, menguap lagi, lalu berdiri mendekati Yori, memeriksa keadaannya.

Masih tetap sama.

Hatiku mencelus. Apa keadaannya parah? Kuusap tangannya perlahan. Tangan yang suka memelukku dari belakang saat aku ganti pakaian atau sedang menyiapkan bekal untuk kami.

"Gimana Mas?" Yara turun dari tempat tidur dan berdiri di sampingku. "Gimana kejadiannya, Kak?"

Kuceritakan sesuai yang disampaikan Mas Bayu. "Aku nggak lihat, karena aku di rumah."

Yara memandang wajah kakak lelakinya. Aku juga memandang ke arah yang sama. "Nanti aku aja yang kasih tahu Ibu, Kak. Biar tenang suasananya," katanya.

"Nggak akan tenang juga kalau udah sampai ke inti berita, Ra."

"Memang. Tapi aku tahu cara-cara menenangkan Ibu kalau dia mulai panik dan nangis."

Benar juga.

Aku membalik badan, menuju tumpukan benda di sisi nakas pasien. Yara mengambilkan tepat seperti yang kuinstruksikan, ditambah perlengkapan makeup dasar. Perempuan memang selalu memikirkan semuanya, ya.

Usai mandi dan sarapan roti yang dibawakan Yara, aku duduk di sofa dan membuka laptop.

Saat membuka file desain lobby hotel dan apartemen yang sedang kukerjakan, mendadak ada rasa nyeri menjalar di dalam tubuh. Ini yang sedang kukerjakan waktu ponsel berbunyi. Rasanya sudah lama lewat, padahal baru tadi malam.

Kuhela napas dalam-dalam. Semangat menyelesaikan pekerjaan yang tadinya tinggi, mendadak hilang. Aku tak bisa konsentrasi. Kututup kembali laptop, kusisihkan ke samping. Kepalaku sangat pusing. Mataku terpicing rapat.

"Tidur lagi aja, Kak." Yara mengagetkanku. "Pasti Kakak masih bingung dan capek."

"Udah kasih tahu Ibu?"

"Belum. Aku nunggu sampai kira-kira dia selesai sarapan." Yara mengambil ponsel. "Sejam lagi deh."

Kupikir, aku juga harus menghubungi Pak Alva dan Wina. Dan aku butuh udara segar.

Dari halaman parkir rumah sakit, aku menelepon satu-persatu. Pak Alva tidak banyak tanya saat mendengarkan ceritaku. Malahan dia memberi waktu sebebasnya sampai Yori bisa kembali ke rumah. Desain yang sedang kukerjakan, diambil alih olehnya.

Tingly Little ThingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang