Kalau takdir datang menyapa, mau sekuat apa pun kamu berontak, pada akhirnya menerima adalah sebuah keharusan.
°°°
Bukan bermaksud mendahului takdir, namun merencanakan apa yang akan dilakukan di kemudian hari adalah satu dari beberapa hal yang pasti dilakukan. Hidup tak pernah jauh dari mengkhayal meski tahu bahwa realita tak akan pernah ingkar pada semesta. Dan yang benar terjadi pada Ayra adalah kenyataan-kenyataan yang membuat poin-poin yang telah disusun olehnya secara perlahan mengabur dari khayalannya.
Hilang sudah. Catatan keinginan yang terpendam dalam benaknya kini kosong tak menyisakan apa pun. Hari ini, kenyataan yang menyapa Ayra terasa tak masuk akal. Selama menghirup udara di bumi, hari ini ia baru merasakan dijadikan objek lelucon oleh semesta. Takdir yang menyapanya begitu lucu, nyaris gila malah. Sampai-sampai Ayra mendadak lupa caranya tertawa saking lucunya.
Apa ini? Kebaya putih masih melekat membungkus tubuhnya yang kini duduk di depan cermin. Di belakangnya, seorang perias tengah membantu melepas pernak-pernik khas pengantin sunda yang membuat kepalanya berat. Dan lagi yang lebih penting, yang lebih tak masuk akal namun begitu nyata, yang harus ia terima, bahwa statusnya kini berubah. Gelar istri sudah disandang olehnya.
Tiga jam setelah prosesi akad nikah, setelah berfoto bersama keluarga, Ayra segera kembali ke kamar untuk berganti pakaian dan menanggalkan semua beban di kepalanya.
"Saya pamit, Mbak," kata sang perias setelah membereskan peralatannya.
Ayra segera berdiri dari duduknya dan melakukan cipika-cipiki dengan sang perias. Kemudian perias itu keluar dari kamarnya setelah dirinya mengucapkan terima kasih dan sedikit senyum tipis sebagai bentuk sopan santun.
Sekali lagi, Ayra mematut dirinya di depan cermin dengan posisi dirinya masih berdiri. Benar, ‘kan, itu dirinya? Telah menikah? Entah apa yang dirasakannya saat ini, semuanya terlalu mendadak, terjadi begitu saja. Entah bahagia atau tidak, yang tergambar di gurat wajahnya hanya lelah. Ayra menghela napas, akan ‘kah semuanya berjalan dengan baik?
Pintu kamar mandi terbuka, membuat Ayra memutar kepalanya. Jendra keluar dari sana. Wajahnya terlihat segar setelah mandi, tentu saja. Suasana canggung langsung menyergap kamar bernuansa biru itu. Menelan berbagai kata yang hendak diucapkan oleh kedua insan tersebut sehingga hening mengambil alih.
Ayra lebih memilih untuk meraih sebotol cairan pembersih make-up kemudian meneteskannya pada kapas sebelum mengusapkannya pada wajahnya dengan hati-hati. Perempuan itu mencoba mengabaikan keberadaan seseorang yang kini menjadi suaminya di dalam kamarnya. Tak mau ambil pusing ketika melihat Jendra yang sedang memangku ranselnya mencari sesuatu.
Wajahnya sudah terbebas dari make-up. Ayra bangkit dari duduknya untuk mengambil pakaian ganti sebelum masuk ke kamar mandi, namun kegiatan Jendra yang kini mengeluarkan semua isi ranselnya ke atas kasur membuat Ayra terganggu. Perempuan itu risi dengan gerakan Jendra yang grasak-grusuk.
"Cari apa?" tanyanya seraya berdiri di hadapan Jendra yang langsung mendongak menatap wajahnya.
"Charger. Kamu lihat?"
Ayra menggeleng kaku. Tertegun dengan bahasa Jendra yang seperti tak ada beban saat ber-aku-kamu dengannya. Ia terpaku di tempatnya, memastikan bahwa apa yang telinganya dengar tak salah. Jendra menyebut kata ‘kamu’ untuknya, ‘kan? Kepala Ayra menggeleng kecil, mencoba mengenyahkan perkara perubahan gaya bicara Jendra yang tiba-tiba.
Kemudian Ayra meraih ransel Jendra dan ikut memastikan keberadaan charger milik lelaki itu.
Namun sebelum itu matanya sempat mengerling ke arah buku bersampul elektrik yang tersimpan di antara tumpukan buku miliknya. Mungkin Ayra akan membuangnya, atau ... membakarnya?
Karena ... sudah tidak ada gunanya. Meski semua keinginannya sudah tertulis rapi di dalam sana. Keinginannya tak ada apa-apanya bagi Pemilik Semesta. Ia bahkan hanya diberikan kesempatan untuk memberi tanda centang pada dua poin keinginannya. Lulus lebih cepat dan menjadi seorang pengajar. Sudah.
Tidak akan ada kesempatan lainnya, tidak akan pernah ada. Maka dari itu, buku itu tak lagi berguna, tak ada artinya lagi.
Panggilan aku-kamu di antara ia dan Jendra adalah hal yang begitu asing mengingat ia dan lelaki itu adalah sepasang sahabat dekat. Sejak masih sama-sama menggunakan popok sampai SMA, bahkan sampai keduanya memilih untuk kuliah di kota yang berbeda, ia dan Jendra tetap menjalin komunikasi dengan sangat baik.
Dan tahu-tahu sekarang ia dan sahabatnya telah berada di dalam ikatan bernama pernikahan. Ikatan yang kuat dan kokoh.
Dalam hati, Ayra tertawa miris, ia bahkan tak tahu apa pondasi dari pernikahnnya dan Jendra. Ia tak tahu pernikahan macam apa yang telah mengikatnya dan Jendra hari ini. Ia tak tahu ... apakah pernikahan ini akan berjalan sebagaimana mestinya atau tidak.
Namun sungguh, pernikahan adalah sesuatu yang diimpikan Ayra, tentu saja. Ayra bukan perempuan yang gila kerja dan karir yang menyepelekan tentang itu, mungkin sekarang waktunya tepat untuk sebuah pernikahan, hanya saja ... orangnya. Ayra tak pernah menuliskan di dalam buku pribadinya bahwa ia ingin menjadi istri dari sahabtnya sendiri. Tidak pernah.
Lalu... siapa yang berbisik pada semesta tentang hal ini?
“Enggak ada,” gumam Ayra setelah memastikan tidak ada charger di dalam ransel milik Jendra. Perempuan itu segera meraih setelan kerja yang sempat Jendra keluarkan dari dalam ranselnya. “Kamu yakin bawa dari rumah?”
Akhirnya, mau tidak mau, Ayra harus mengimbangi gaya bicara Jendra. Ia akan menjalani peran sebaik mungkin sebagai seorang istri, karena ia adalah anak yang diajarkan tentang kebaikan oleh orang tuanya.
Jendra mengerjapkan matanya. “I--iya, bawa, kayanya ...?”
Kemudian Jendra mengusap rambut bagian belakangnya membuat Ayra tanpa sadar mengembuskan napasnya. Ayra sangat hapal kebiasaan Jendra saat lelaki itu sedang tak yakin dengan apa yang diucapkannya.
“Yaudah, bisa bawa punyaku dulu,” kata Ayra seraya megambil charger miliknya kemudian mengangsurkannya ke hadapan Jendra yang tak langsung diterima oleh lelaki itu.
“Kamunya?”
Ayra mengibaskan tangannya. “Pake punya Ayah.” Barulah Jendra menerima benda itu kemudian memasukkan ke dalam ranselnya. “Kapan berangkat?” tanya Ayra selanjutnya.
See? Kurang gila apalagi kenyataan yang harus diterima Ayra. Belum genap sehari pernikahan mereka, Jendra akan tetap pergi untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Tak ada resepsi seperti kesepakatan keduanya. Dan meski jadwal keberangkatannya telah dibuat sebelum hari pernikahan, nampaknya Jendra tak ada keinginan untuk mengundurnya.
Lihat, lihat seberapa lucu kehidupannya. Bahkan Ayra sampai dibuat bungkam, dibuat terkejut, dibuat diam seribu bahasa dengan kebingungan yang begitu menggelayuti. Tidak ada tawa sebagai bentuk respons dari kelucuan seperti pada umunya. Lucu yang nyaris menyerempet gila mampu membuat Ayra tenggelam sedalam-dalamnya pada kubangan bernama linglung.
Di dalam kepalanya yang tiba-tiba memutarkan sebuah adegan, ia bisa melihat dirinya sendiri tengah berada di suatu tempat yang bahkan belum pernah ia singgahi sebelumnya. Orang-orang terlihat sibuk berlalu-lalang sedangkan ia hanya diam mematung, memandang sekitarnya dengan dahi berkerut tanda bingung. Seasing itu Ayra berada di keadaannya yang sekarang.
Sungguh, semua yang terjadi padanya bahkan tak pernah tertuliskan ke dalam poin khayalannya sekali pun. Atau bahkan, terlintas pun tak pernah. Dan kembali, Ayra diingatkan oleh kenyataan, bahwa realita tak akan pernah ingkar pada semesta. Sejauh apa pun, setersembunyi apa pun dirinya menghindar, realita tetap realita. Tak bisa dicegah, tak bisa ditunda, dan tak bisa ditawar. Realita adalah harga mutlak bagi setiap manusia.
“Ay?”
Tepukan lembut di pundaknya lagi-lagi seolah mengingatkan Ayra, menarik dirinya pada kenyataan yang ada, yang harus ia hadapi. Semuanya bukan mimpi atau halusinasi, ini nyata. Bukan sekadar drama yang punya batas durasi.
Yang sekarang tengah berdiri di hadapannya memang benar Jendra. Jendra Abbasy Paraduta, sahabat yang sekarang naik pangkat menjadi suaminya.
“Kamu ngelamun?”
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
LITHE [END]
RomanceApa semuanya akan berjalan dengan baik? Pertanyaan itu yang selalu memenuhi isi kepala seorang Ayra. Setiap hari, setiap ia mengingat kenyataan yang sedang dijalaninya, pertanyaan itu semakin menggila menghantam pikirannya. "Ay, kita harus--" "Aku m...