Tidak ada yang lebih kumau selain bahagiamu. Dan tidak ada yang benar kulakukan, selain ... mencintaimu.
°°°
Suara sepatu pantofel yang beradu dengan lantai terdengar nyaring seolah memecah hening. Jendra sudah siap dengan setelan jas kerjanya. Lelaki itu menunduk, membenarkan letak jam tangannya sebelum akhirnya mendongak dan mendapati presensi Ayra yang tengah duduk dengan menopang dagu.
Jendra lantas duduk di samping istrinya yang segera menatapnya dengan wajah lesu. Lelaki itu mengernyit. Tak biasanya Ayra menampilkan wajah seperti ini.
Hubungan kalian belum membaik, Jendra.
Jendra mengerjap setelah disadarkan oleh suara dalam kepalanya. Lelaki itu menghela napas.
"Ay ... aku ...."
"Jen, maaf ya," kata Ayra memotong ucapan Jendra dengan lesu. "Aku enggak bikin sarapan pagi ini," lanjutnya lagi.
Detik berikutnya Jendra hanya mengerjap. Lelaki itu bahkan baru sadar bahwa meja makannya steril dari makanan. Ayra tidak terlihat seperti seseorang yang tengah marah padahal semalam perempuan itu sangat emosional. Padahal, Jendra sudah sangat siap jika Ayra meluapkan apa yang dirasakannya pagi ini. Jendra sudah sangat siap. Namun ternyata, Ayra bersikap jauh di luar ekspetasinya.
"Aku lagi enggak selera pegang alat dapur," aku Ayra. Wajah perempuan itu terlihat masam, bibirnya mengerucut. Demi apa pun, Jendra gemas sendiri melihatnya. Lelaki itu terkekeh renyah.
"Enggak apa-apa." Jendra berkata lembut. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala istrinya. Entah kemana rasa cemburunya, nyatanya ia merasa baik-baik saja saat Ayra berada di sisinya.
Selama Ayra masih berada di dekatnya, masih berada dalam edarannya, ia tak akan membiarkan siapa pun mengambil perempuannya. Yoga sekali pun.
"Aku juga malas mandi." Ayra semakin mengerucutkan bibirnya. Peremuan itu merebahkan kepalanya di atas meja dengan tangan yang menjadi bantalan.
Entah hanya perasaannya saja atau memang benar, Ayra bersikap lebih manja dari biasanya. Namun meski begitu, Jendra tetap suka. Lalu, Jendra mengulurkan tangannya, menyingkirkan beberapa helaian rambut Ayra yang jatuh menutupi wajah ke belakang telinga. Cantik, batin Jendra. Tidak pernah bosan lelaki itu memandang wajah istrinya.
"Kamu bukannya mau ngajar?" tanya Jendra kemudian, ia memangku dagunya dengan tangan agar mudah memandangi wajah Ayra yang terlihat menggemaskan.
"Maka dari itu ... aku mager banget, Jen ...," rengek Ayra. Jendra kembali terkekeh.
"Yaudah jangan ngajar," balas Jendra santai yang kemudian mendapatkan pelototan kesal dari Ayra. Perempuan itu langsung menegakkan tubuhnya.
"Jendra ... kok kamu gitu?" Ayra merajuk.
Jendra mengangkat tangannya, menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia jadi bingung sendiri menghadapi Ayra yang moody seperti ini. Seingatnya, jadwal tamu bulanan istrinya bukan di tanggal-tanggal sekarang. Lalu, apa yang membuat Ayra terlihat uring-uringan seperti ini?
Kendati begitu, Jendra tetap tersenyum ketika kembali menatap Ayra. Lelaki berhidung mancung itu lantas bertanya, "Gitu gimana, sayang?"
Pipi perempuan yang belum mandi itu memerah, malu. Jendra mati-matian menahan senyumnya. Ia juga menahan giginya agar tak kelepasan menggigit pipi Ayra yang sangat terlihat lucu. Ini bukan kali pertama Jendra memanggil Ayra dengan sebutan sayang. Namun entah mengapa Ayra selalu merasa malu. Itu juga yang membuat Jendra akhirnya tetap memanggil Ayra dengan sebutan 'Ay', dan Ayra yang masih saja memanggilnya dengan sebutan nama. Tentu Jendra tak keberatan meski ia ingin dipanggil 'Mas', mungkin? Baginya, yang terpenting membuat Ayra nyaman dengan pernikahan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LITHE [END]
RomanceApa semuanya akan berjalan dengan baik? Pertanyaan itu yang selalu memenuhi isi kepala seorang Ayra. Setiap hari, setiap ia mengingat kenyataan yang sedang dijalaninya, pertanyaan itu semakin menggila menghantam pikirannya. "Ay, kita harus--" "Aku m...