Lithe | Ketakutan

419 49 0
                                    

Sudah kubilang, aku pengecut. Aku takut kamu tahu semua sakitku. Namun membayangkan kamu akan menjauh, jauh membuatku takut.

°°°

Jendra membuka dan menutup pintu kamarnya dengan pelan, berusaha sebisa mungkin agar tak menimbulkan suara yang dapat mengganggu tidur nyenyak manusia yang sudah terlelap di atas kasur. Kakinya melangkah ke arah sisi ranjang yang kosong dan naik ke atasnya. Sebelum benar-benar membaringkan tubuhnya, tangan lelaki itu meraih selimut untuk menutupi tubuh Ayra sebatas dada. Dengan posisi badan yang agak condong ke ke kiri, tangan kanan Jendra kembali terangkat, jemarinya menyingkirkan beberapa helaian rambut yang menutupi wajah cantik milik perempuannya.

Dalam hati Jendra terkekeh, karena merasa begitu egois menyebut Ayra sebagai perempuannya. Terkekeh sumbang. Mendengar napas teratur milik Ayra terasa amat menenangkan dan ia betah memandangi wajah itu masih dengan posisi menyamping dengan tangan kiri sebagai tumpuan. Terbayang dalam benaknya bagaimana Ayra mencoba untuk terlihat riang setiap paginya, mengesampingkan apa yang dirasakannya saat ini. Jendra tersenyum kecil, mengingat senyum manis Ayra setiap paginya, sapaan selamat pagi yang selalu berhasil membuat ia mati-matian menahan senyumnya, segelas susu cokelat kesukaannya, juga pesan-pesan yang dikirimnya sekedar mengingatkan makan. Jendra senang, sangat senang dengan hal itu.

Perlahan wajahnya menurun, mencoba memandang wajah yang selalu ingin ia lihat setiap harinya dalam jarak yang begitu dekat sampai-sampai ia bisa merasakan hangat napas teratur milik Ayra. Jendra memejamkan matanya kemudian mencium kening itu dengan bibir yang tersenyum tipis.

"Selamat tidur, Ay."

Setelahnya, Jendra bangkit. Membuka pintu balkon lalu menutupnya kembali. Tangannya bergerak menyentuh dadanya yang bergemuruh, selalu seperti ini. Jalanan di bawahnya begitu sepi dan suara khas malam begitu terdengar. Suara dersik seolah menyapa kedatangan Jendra yang setiap malam selalu di sana, menghabiskan beberapa waktu untuk menenangkan hatinya. Berdialog dengan dirinya sendiri tentang segala kecamuk yang menguasai pikirannya.

Aku mau kita kaya dulu, Jen.

Tangan Jendra mencengkeram pagar pembatas balkon dengan erat hingga buku-buku jarinya memutih. Dadanya kembali bergemuruh, namun kali ini bukan karena hal menyenangkan. Ada emosi yang terpancar dalam sepasang bola mata milik Jendra yang tak pernah coba ditenangkannya. Kembali, selalu seperti ini. Setiap malamnya, Jendra selalu terlihat seperti seorang yang tak punya kehidupan. Tatapannya lurus, kosong, namun kilat emosi dan segalanya yang tak pernah ia ungkapkan menguar dari sana. Diperlihatkan dengan begitu nyata meski tanpa kata.

"Kenapa, Ay?"

Pertanyaan dengan nada lirih itu kembali Jendra suarakan. Pada malam yang sepi, pada langit juga pada bintang yang makin terlihat indah. Jendra mempertanyakan hal yang sama setiap malamnya pada apa pun, kecuali pada objeknya; Ayra Mysha Naira.

"Belum tidur?"

Jendra terperanjat di tempatnya. Tubuhnya berbalik dan mendapati Ayra berdiri di tengah-tengah pintu balkon. Perempuan itu menaikkan sebelah alisnya menatap Jendra, menunggu jawaban.

"Belum," jawab Jendra, kembali membalikkan tubuhnya menatap ke depan. Asal tidak ke samping, di mana Ayra sudah berdiri dekat dengannya.

"Jen ...."

"Kenapa bangun?" tanya Jendra cepat, tak menanggapi panggilan Ayra untuknya karena sebuah alasan.

"Ganti baju."

Barulah Jendra menoleh dan menyadari bahwa kini tubuh Ayra dibalut dengan piyama selutut. "Dingin," katanya yang dijawab anggukan.

Dingin, Ay, kamu masuk aja, tidur lagi, begitulah kira-kira yang ingin Jendra sampaikan sebenarnya. Namun tertelan oleh egonya sendiri.

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang