Dalam sebuah hubungan, dua orang yang terlibat di dalamnya tak bisa menjadi sesuatu yang sama. Keduanya harus saling melengkapi. Jika yang satu api, yang satu harus berusaha menjadi air.
°°°
Sama ketika ia diberikan manisan rambut, eksrim, balon, atau permen ketika masih kecil, perasaan yang membuncah itu kini bisa Jendra rasakan kembali. Diusianya yang sudah dewasa hanya karena satu pernyataan yang diucapkan Ayra beberapa saat lalu.
Jendra masih memeluk tubuh Ayra yang bahunya sedikit terguncang karena menangis. Ayra sudah memakinya. Mengatainya brengsek, kurang ajar, tidak bertanggung jawab. Namun lelaki itu hanya diam. Membiarkan istrinya meluapkan semua yang dirasakannya.
Mengumpati dirinya sendiri memang tidak bisa membuat rasa bersalahnya berangsur pulih, namun karena Ayra yang melakukannya, Ayra yang mengumpatinya, membuat rasa yang bercokol di hatinya perlahan membaik. Jendra lega akhirnya Ayra bisa jujur pada perasaanya, ia bahagia karena pada akhirnya Ayra mau terbuka tentang apa yang dirasakannya.
"Kamu paham enggak, sih?"
Dengan wajah yang berlinang air mata, Ayra menatap Jendra. Kedua tangan perempuan itu mencengkeram erat kerah kemeja yang dikenakan suaminya. Ia sudah melepaskan dirinya dari pelukan suaminya.
"Apa yang ada di kepala kamu sampai-sampai mengartikan ucapan aku sebagai bentuk ... perpisahan?" Ayra menggelengkan kepalanya tak habis pikir seraya menghapus air matanya kasar. "Perpisahan, Jen," kata Ayra dengan penekanan di setiap katanya, meski suaranya terdengar sumbang.
Sedang Jendra masih diam. Masih membiarkan Ayra berbicara sesuka hatinya. Selain karena ingin membuat perasaan istrinya supaya lebih lega, Jendra juga masih meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa ini semua bukan hanya imaji. Ini semua nyata, tak sekadar khayal.
"Kamu tahu, aku juga sakit?" tanya Ayra dengan sorot mata yang begitu terluka. "Kamu tahu aku kebingungan di sini?" tanyanya lagi.
Tak bisa dicegah, air mata Ayra kembali mengalir namun dengan cepat disekanya. "Aku kebingungan, Jen. Keadaan ini jelas masih sangat abu-abu bagi aku. Dan kamu?" Nada suara yang terdengar begitu frustasi mengundang Jendra untuk merengkuh tubuh Ayra. Namun perempuan itu mengangkat sebelah tangannya, memberi tahu pada Jendra untuk tetap berada di posisinya.
"Diam," cegah Ayra, lagi-lagi sambil menyeka air matanya. "Masih banyak yang mau aku omongin. Kamu diam dulu. Jangan peluk. Nanti aku makin nangis."
Detik berikutnya, Jendra tak bisa menahan kekehannya. Melihat Ayra yang sebenar-benarnya Ayra yang ia kenal sejak dulu, Jendra merasa tak merasa kesulitan sama sekali untuk menarik kedua sudut bibirnya. Perkataan Ayra terdengar begitu lucu di telinganya membuat jiwa jahilnya muncul.
"JENDRA!"
Kontan Ayra berteriak ketika tanpa aba-aba Jendra menarik tubuhnya untuk kemudian didekap hangat. Perempuan itu berontak di dalam dekapan suaminya yang begitu erat. "Jendra lepasin!" erang Ayra keras, tangannya menepuk-nepuk punggung lelaki itu namun tak digubris. Jendra malah asik terkekeh.
"Gemesin banget sih, istrinya siapa coba?"
Seperti sebuah sihir dan Ayra adalah korbannya, ucapan Jendra malah membuat perempuan itu berangsur melemaskan tubuhnya di pelukan hangat suaminya. Menyamankan posisinya dengan menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher lelakinya menghantarkan sensasi geli dan hangat di saat yang bersamaan bagi sang empunya.
Sedari dulu, Jendra memang punya eksistensi yang besar dalam hidupnya. Hanya sebagian kecil dari ucapan lelaki itu yang abaikan. Lalu sisanya? Selalu berhasil membuat Ayra luluh lantak. Sedari dulu, Jendra pemegang kunci atas dirinya.
"Eheeeyy .... Ada yang senyum tapi malu, tuh."
Seketika, Ayra menjauhkan kepalanya dari tempat nyamannya, kuasanya terangkat agar dapat menatap wajah Jendra. "Lepasin enggak?" Mata Ayra melotot seperti seseorang yang tengah mengancam.
"Bilang apa pun, Ay," bisik Jendra tepat di samping telinga Freya ketika ia sudah kembali berhasil membawa tubuh perempuannya ke dalam dekapannya, lagi. "Apa pun." Jendra memejamkan kedua matanya, mencoba merasakan dengan khidmat hangatnya peluk dari tubuh Ayra. "Asal tetap seperti ini," lanjutnya kemudian.
Setelah menarik napasnya panjang dan mengembuskannya pelan, Ayra ikut memejamkan matanya. Untuk sejenak hening mengisi kekosongan yang terasa begitu damai di antara keduanya. Sebelum akhirnya Ayra kembali berbicara, "Jendra, demi apa pun, perpisahan di antara kita bahkan enggak pernah aku pikirkan. Rasanya ... membayangkannya pun aku enggak sanggup." Ada jeda setelah Ayra mengatakan itu dengan pelan namun begitu jelas.
"Dan kamu?"
Jendra mengusap lembut surai berwarna kecokelatan milik istrinya ketika kepala perempuan itu bergerak kecil mencari posisi yang nyaman. Ia masih diam menunggu ucapan Ayra selanjutnya.
"Kamu malah dengan mudah bilang mau ngembaliin aku ke Ayah. Jendra, aku enggak mau."
"Kamu pikir?" Pada akhirnya Jendra meregangkan pelukannya. Kali ini tangan besarnya menangkup wajah Ayra, menatap iris indah milik istrinya lamat-lamat. "Kamu pikir aku mau ada perpisahan?" tanya Jendra dengan nada lembut, kepalanya menggeleng singkat sebelum akhirnya ia menjawab pertanyaannya sendiri, "enggak, Ay. Aku juga enggak mau."
Kembali, kepala Ayra menggeleng tak habis pikir. "Lalu, ucapan kamu yang—"
"Ay!" sanggah Jendra cepat sebelum Ayra berbicara terlalu jauh. "Kamu selalu bilang kalau kamu mau kita yang dulu," jelas Jendra yang membuat Ayra mendengkus.
"Tapi maksudku bukan begitu, Jen. Bukan aku minta pisah dari kamu." Ayra menatap Jendra dengan tatapan gemas, gemas dengan pemikiran lelaki itu yang terlalu jauh.
"Kamu enggak jelasin, Ay." Kali ini kungkungan kedua lengan Jendra terlepas. Lelaki itu mengusap wajahnya sebelum kembali menatap istrinya. "Kamu cuma bilang itu berulang kali," cetus Jendra.
Apa Ayra tak pernah bisa menangkap sorot ketakutan dalam kedua bola mata Jendra ketika ia mendengar permintaannya? Apa Ayra tak pernah bisa melihat bagaimana Jendra berusaha mati-matian menahan amarah dalam dirinya setiap mendengar permintaannya?
"Aku ketakutan, Ay. Aku ketakutan setiap kamu bilang kalau kamu mau kita yang dulu. Aku takut. Aku enggak bisa membayangkan kalau hidup aku enggak sama kamu," ungkap Jendra dengan suara yang semakin serak. Sesak kembali menghantam dadanya, panas kembali menjalari matanya.
Sementara Ayra yang mendengar itu menatap suaminya lamat, menatap lurus tepat iris mata Jendra dan yang ia lihat hanya ketulusan yang berkabut luka. Entah ke mana rasa gemasnya, entah ke mana rasa kesalnya. Baru kali ini Ayra merasa dadanya begitu membuncah ketika menatap Jendra, baru kali ini Ayra merasa begitu ingin berada di samping Jendra dan menghilangkan kabut luka dari matanya, dan baru kali ini Ayra ingin menjadi rumah satu-satunya tempat Jendra pulang menanggalkan segala beban. Rasanya ... berbeda ketika status mereka masih sepasang sahabat. Sangat berbeda. Dan Ayra tak bodoh untuk tak bisa membedakan apa yang dirasakannya.
"Ayra, aku enggak bohong ketika aku bilang aku bahagia dengan pernikahan kita." Jendra menatap Ayra, menyelam pada netra indah di hadapannya seolah meyakinkan Ayra untuk percaya apa yang dikatakannya.
Seolah paham, Ayra menganggukkan kepalanya dengan air mata yang kembali mengalir namun dengan segera dihalau oleh tangan besar Jendra. Ayra tersenyum kecil, memberi tahu bahwa ia tidak apa-apa.
"Dan sekarang, aku juga enggak bohong ...." Jendra menjeda ucapannya, kedua tangan besarnya menangkup wajah Ayra. "Aku sayang kamu, Ay."
Detik berikutnya, tubuh Jendra terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tak sigap menahannya. Ayra memeluknya, menyembunyikan kembali wajahnya pada ceruk lehernya.
"Jangan tinggalin aku, Jendra."
Bahkan itu adalah sesuatu yang tidak akan Jendra lakukan.
You win, Ay. Kamu menang atas perasaanku. Selalu menang, batin Jendra.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
LITHE [END]
RomanceApa semuanya akan berjalan dengan baik? Pertanyaan itu yang selalu memenuhi isi kepala seorang Ayra. Setiap hari, setiap ia mengingat kenyataan yang sedang dijalaninya, pertanyaan itu semakin menggila menghantam pikirannya. "Ay, kita harus--" "Aku m...