Lithe | Rumit

396 47 1
                                    

Terima kasih dan maaf. Hanya itu. Dariku, untukmu.

°°°

Pagi ini terasa begitu dingin dari biasanya. Terasa begitu hampa. Ayra masih duduk di meja makan dengan kedua tangan yang memangku dagu. Matanya menatap lurus ke arah depan dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat gusar. Matanya kembali melirik pada ponselnya.

Berlebihan. Ayra terkekeh. Ia bahkan sudah tak waras karena menunggu pesan dari Jendra. Di waktu sepagi ini, Jendra sudah tidak ada di rumah. Lelaki itu sudah tidak ada di sampingnya ketika ia terbangun.

Harus sepagi ini, ya, perginya?

Ayra tak bisa berhenti bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Lalu kilasan tentang kejadian semalam kembali memenuhi ruang ingatannya. Membuka lebar-lebar laci memorinya agar ia bisa melihat dengan jelas. Padahal Ayra masih bisa merasakan hangatnya pelukan Jendra. Terngiang di telinganya, bagaimana lelaki itu dengan lembut menenangkan gejolak di hatinya. Dengan kata-katanya yang manis.

Dan satu asumsi baru muncul di kepalanya membuat Ayra sedikit tersentak.

Apa ... Jendra marah?

Mengingat apa yang sudah ia lakukan sangatlah lancang, Ayra jadi merasa tidak apa-apa jika disalahkan. Tapi, bisa tidak sih, Jendra bilang saja kalau memang marah? Jangan menghilang seperti ini. Jangan membuatnya khawatir.

Mengembuskan napasnya pelan, Ayra segera melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sudah waktunya ia berangkat mengajar. Perempuan itu bangkit, meninggalkan meja makan yang pagi ini steril dari makanan karena Ayra tak membuat sarapan.

°°°

Sekolah tempatnya mengajar adalah gudang keceriaan. Di mana ia bisa melihat wajah anak-anak itu tersenyum dan tertawa riang. Ayra selalu bahagia melihat itu. Perasaan menggebu-gebu selalu dirasakannya saat melihat anak-anak kecil berlarian, bernyanyi, atau bermain. Sedari dulu, ini memang impiannya. Bisa mengabdikan diri pada anak kecil yang meski kadang terlalu banyak tingkah, tapi mudah dididik. Ayra selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik saat mengajar.

Kendati hatinya sedang kacau, Ayra selalu bisa tertular oleh bahagia anak-anak di sekitarnya yang hiperaktif. Sampai-sampai ia tak menyadari bahwa waktu berjalan dengan cepat. Tiba-tiba saja waktu mengajarnya sudah selesai. Ayra menghela napasnya lega. Dalam hati, ia memberikan selamat pada dirinya sendiri. Karena telah melewati waktu mengajarnya dengan baik.

Ayra berjalan bersama rekan gurunya seraya mengobrol ringan menuju parkiran. Bel tanda pulang sudah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu dan Ayra memutuskan untuk langsung pulang setelah membereskan beberapa buku anak muridnya.

"Anak aku, tuh, baru satu, usianya baru dua tahun," cerita Mona yang usianya ternyata hanya terpaut dua tahun di atas Ayra.

"Oh ya? Waahh lagi lucu-lucunya itu." Mata Ayra berbinar membuat Mona tertawa renyah.

"Iya, banget. Lagi lucu-lucunya, lagi aktif-aktifnya."

Mona terus saja berceloteh tentang anaknya yang masih balita itu dengan semangat. Tak menyangka bahwa dirinya akan mendapat teman seperti Ayra di tempat sekolahnya mengajar yang baru setelah mengikuti suaminya yang dialihkan ke kantor pusat.

"Ay."

Langkah Ayra terhenti ketika mendapati Jendra yang tengah bersandar di badan mobil dengan setelan kerjanya yang masih lengkap. Apa yang membuat Jendra berada di tempat ini sekarang? Ada urusan, 'kah? Dengan siapa? Tak ingin lama-lama berpikir dan menerka-nerka, Ayra langsung pamit pada Mona sebelum akhirnya menghampiri Jendra yang dibalas dengan anggukan dan senyum menggoda dari wanita beranak satu itu. Ayra mengembuskan napas melihatnya.

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang