Lithe | Maaf Tak Terucap

457 45 0
                                    

Bukan tak ingin. Aku hanya tengah belajar menerima. Biar bagaimana pun, hatiku butuh diajari untuk terbiasa.

°°°

Jendra keluar dari mobilnya dengan satu tangan yang menenteng jas serta tas kerjanya. Tepat di hadapan pintu yang tertutup rapat, Jendra menghentikan langkahnya. Biasanya, tak sampai lima menit pintu di hadapannya terbuka, menampilkan senyum di antara wajah kantuk Ayra yang manis. Biasanya, Ayra akan mengambil alih jas juga tas kerja dari tangannya. Biasanya, Jendra akan merangkul bahu Ayra untuk kemudian sama-sama melangkah ke dalam.

Detik berikutnya, Jendra menggelengkan kepalanya pelan sebelum memijat pangkal hidungnya. Dalam hatinya, ia menertawakan dirinya sendiri yang terlalu berlebihan.

Ayra mungkin lelah, makanya istrinya itu sudah istirahat lebih dulu. Atau ... Jendra memaklumi. Memaklumi amarah perempuan itu yang ditinggalkan begitu saja di depan gerbang tadi siang.

Setelah merogoh tas kerja dan mendapatkan duplikat kunci rumah yang selalu dibawanya, Jendra lantas masuk ke dalam dan menemukan gelap di sekitarnya.

Trek.

Ruangan seketika berubah terang tepat setelah Jendra menekan saklar lampu. Lelaki itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan dan menemukan seseorang tengah duduk di sofa depan televisi.

Lelaki itu mengernyit dan sekilas menengok ke arah jam yang tergantung di dinding. Pukul 00.11, dan Ayra malah tak tidur di kamar. Menghela napas, lelaki itu menaruh jas juga tas kerjanya di atas sofa kulit hitam di ruang tamu lalu melangkah sepelan mungkin ke arah di mana Ayra berada.

Saat hendak mengangkat tubuh perempuan itu, Jendra terdiam sejenak. Melihat wajah perempuannya tertidur begitu tenang membuat Jendra tak sampai hati jika mengganggunya. Jadi, lelaki itu memilih untuk duduk di samping Ayra dengan sangat hati-hati. Jendra menoleh ke sampingnya, di mana Ayra tengah tidur dengan posisi duduk. Setelah puas, lelaki itu mendongakkan kepalanya. Tangannnya terangkat untuk memijat pangkal hidungnya.

Beberapa kali Jendra menghela napasnya yang terasa berat malam ini. Ah, atau, sedari siang, setelah membaca pesan singkat yang masuk ke ponselnya dan berakhir menyuruh Ayra keluar dari mobilnya dengan cara yang bisa dibilang kasar. Tanpa ucapan sampai jumpa dan tanpa kata hati-hati. Jendra mendesah berat. Bayang-bayang kejadian tadi siang juga setelahnya memutar mengelilingi kepalanya.

Jendra cemburu pada Yoga. Ya, ia mengakui itu. Ia takut. Takut jika Ayra akan kembali menjalin hubungan yang ia ketahui belum selesai dengan Yoga.

Sontak, kepalanya menggeleng. Mengenyahkan pikiran negatifnya. Mengerikan sekali.

Lalu, bayangan lainnya muncul. Bayangan orang-orang yang berlalu-lalang dengan gerak cakap juga raut wajah serius yang tengah menangani seseorang yang terkulai lemas di atas brankar memenuhi isi kepalanya, lagi. Ini lebih mengerikan, lebih menakutkan. Karena Jendra tahu, waktunya tidak akan lama lagi. Waktunya tidak panjang. Mau tidak mau, ia harus bisa mengatakan semuanya secepatnya.

Merasa tubuhnya lelah dan ia harus segera beristirahat, Jendra segera berdiri. Dan detik berikutnya, tubuh Ayra sudah berada di dalam gendongannya. Langkah kaki Jendra menaiki satu per satu anak tangga. Akhirnya, setelah dengan agak kesusahan membuka pintu kamar, Jendra berhasil. Lelaki itu hendak membaringkan tubuh Ayra di atas kasur namun perempuan itu malah mengeratkan kalungan tangannya pada leher Jendra. Perlahan, kelopak mata yang dilapisi bulu mata indah itu terbuka. Keduanya saling menatap dengan posisi yang sangat dekat.

"Maaf," lirih Ayra. Bahkan bisa ia rasakan bibirnya sedikit menempel di bibir suaminya. "Maaf udah buat kamu marah," sambungnya dengan air mata yang sudah menggantung di pelupuk mata perempuan itu.

Jendra melepas kalungan tangan Ayra di lehernya dengan hati-hati meski perempuan itu menolak. Lelaki itu menatap wajah istrinya. Menghela napas, Jendra berkata, "Udah malam. Kamu tidur, ya."

Kata Ayra, perempuan itu juga bahagia dengan pernikahan ini. Namun Jendra sanksi. Ia hanya bisa membuat Ayra menangis. Ia selalu mudah membuat Ayra menangis. Janji yang ia ucap pada seseorang yang begitu mencintai Ayra rasanya terlalu tinggi sekarang. Bahwa ternyata, Jendra tak bisa mewujudkannya. Bahwa ternyata, janji-janji itu terdengar muluk sekarang.

Saat Jendra hendak berbalik, Ayra menarik tangannya kuat tanpa aba-aba. Lelaki itu terjatuh di atas tubuhnya. Untung saja Jendra refleks menahannya dengan sikut. Jadi tak benar-benar menindih.

"Ay! Untung aja aku tahan," ucap Jendra dengan penuh peringatan. Namun Ayra tak menggubris. Air mata sudah meleleh dari matanya.

"Kamu enggak maafin aku ...."

Entah sebuah pertanyaan atau pernyataan, Jendra tak tahu. Lelaki itu mengalihkan pandangannya sebentar. "Ay ... ini waktunya istirahat." Karena seharusnya aku yang minta maaf, bukan kamu, lanjutnya dalam hati.

"Buat apa?" Kedua mata Ayra mendelik, dengan suara yang serak, ia mencoba untuk berkata tegas. Air mata kembali menggenang. "Buat apa istirahat kalau pikiran aku enggak bisa ikut istirahat? Kamu pikir, seharian ini aku ngapain aja? Kamu pikir aku diem aja? Enjoy? Kamu pikir aku nggak mikirin apa pun? Kamu pikir a—"

Dengan segera Jendra membungkan bibir istrinya membuat perempuan itu kaget bukan main. Ayra menangis, dadanya sesak sekali. Tangannya memukul-mukul dada suaminya agar melepaskan pagutannya namun lelaki itu abai. Tak peduli. Sampai akhirnya Ayra lelah sendiri, tangannya mencengkeram erat kedua bahu Jendra. Sama sekali, Ayra tak membalas sedikit pun permainan Jendra pada bibirnya. Setelah beberapa saat, barulah Jendra melepaskannya pagutannya. Ibu jarinya terangkat mengusap bibir Ayra yang basah akibat ulahnya. Lelaki itu lalu bangkit dan duduk di samping Ayra yang juga ikut duduk.

"Bisa kita bicarakan ini nanti?" tanya Jendra lembut. Demi apa pun, ia lelah. Ia pikir ia harus segera beristirahat. Meski yang sebenar-benarnya lelah adalah hati dan pikirannya.

Katakan Jendra egois karena di sini yang lelah bukan hanya ia. Ayra juga. Jendra sendiri pun tak yakin ia bisa beristirahat dengan pikiran yang tenang di keadaan seperti sekarang atau tidak.

"Kenapa nanti? Kenapa enggak sekarang? Kenapa kam—"

"Kamu mau aku cium lagi?" Terserah jika ancamannya terdengar seperti lelucon karena dilayangkan di waktu yang sangat tidak tepat. Jendra hanya spontan mengatakan itu. Kepalanya sudah terlalu penuh kalau harus memikirkan cara apa lagi supaya Ayra mau menuruti perintahnya.

Ayra segera mengatupkan kedua belah bibirnya. Tangannya terangkat untuk menutup mulutnya. Perempuan itu menggeleng. Sedangkan Jendra tersenyum kecil melihatnya. Ayra tampak menggemaskan sekarang. Padahal, mereka sudah pernah melakukan hal lebih dari itu. Lebih dari apa yang kalian pikirkan. Hubungan mereka sudah seperti sepasang suami istri kebanyakan, 'kan?

Tangan lelaki itu lantas terangkat untuk mengelus kepala istrinya sebelum akhirnya Jendra mengecup kening perempuannya dengan lembut.

"Kamu tidur. Aku mau mandi dulu."

Setelah mengatakan itu, Jendra segera bangkit dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Ayra menatap punggung itu sengan tatapan sendu. Seolah kelebihan stok air mata, Ayra kembali menangis.

Sedangkan di balik pintu kamar mandi, Jendra menyandarkan tubuhnya. Lelaki itu mengembuskan napasnya kasar. Matanya terpejam beberapa saat.

"Maaf, Ay. Maaf ...."

°°°

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang