Lithe | Masuk Angin

511 51 0
                                    

Sedih tidak apa-apa. Berhenti melanjutkan hidup jangan.

°°°

Kehilangan memang menyakitkan. Namun waktu tak berhenti di sana. Waktu tetap berjalan tak peduli bahwa kamu butuh untuk tetap diam beberapa saat.

Ayah akan tetap ada di dalam hatinya. Dan Ayra akan menjalani hidup seperti biasanya.

Setelah melaksanakan kewajibannya, sepasang suami istri itu menuruni satu per satu anak tangga dengan tangan yang saling bertautan. Sampai ketika melihat dua wanita yang tengah berkutat di dapur, Ayra baru sadar bahwa kini ia tengah berada di rumah Ayah. Mami, Papi, Mama, juga Yoga turut menginap di sini.

"Selamat pagi, Mi, Ma."

Ayra tersenyum lebar membuat dua atensi wanita itu teralih.

"Selamat pagi, Ay, Jen."

Tanpa diduga, Jendra menutup mulutnya, lelaki itu segera berlari ke arah kamar mandi yang berada di sudut dapur. Melihat itu, Ayra segera menyusul suaminya menyisakan tatapan tanda tanya dari dua wanita yang berada di sana.

Dengan sangat perhatian, Ayra mengurut-urut kecil tengkuk Jendra yang masih saja merunduk memuntahkan isi perutnya namun hanya berupa cairan bening.

"Udah?" Ayra bertanya begitu melihat Jendra menegakkan kuasanya. Tanpa rasa jijik, dengan begitu telaten, Ayra menadah air di tangannya dan mengusap mulut Jendra dengan lembut. "Kamu masuk angin, ya?"

Keduanya keluar dari kamar mandi bersamaan. Dan Jendra mengernyit sebelum akhirnya mengapit hidungnya dengan jari telunjuk dan ibu jari.

"Jen, kenapa sih?" Ayra bertanya dengan bingung. Pasalnya, ini pertama kalinya ia melihat Jendra yang seperti sekarang.

"Bau," jawab Jendra.

Ayra mengendus bau di sekitarnya. Hanya bau ayam goreng yang tengah digoreng. Setahunya, Jendra bahkan sangat suka makanan satu itu.

"Bau ayam goreng, Jen. Kenapa harus tutup hidung segala?"

Jendra menggelengkan kepalanya sebelum akhirnya berlari ke arah depan karena sudah tak kuat menghidu aroma ayam goreng di dapur.

"Jen."

Jendra masih berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang.

"Jendra, ih!"

"Hah!"

Ketika sampai di pelataran depan, barulah Jendra bisa bernapas lega. Lelaki itu kemudian memilih untuk mendudukan dirinya di atas rumput yang terawat.

"Kamu kenapa sih, Jen?" Ayra masih penasaran mengapa Jendra harus sampai segitunya.

Alih-alih menjawab, Jendra malah bangkit dari duduknya. Sepersekian detik berikutnya, lelaki itu memeluk tubuh Ayra, menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Ayra dan menghidu aroma tubuh istrinya.

Kendati bingung, tak urung Ayra membalas pelukan suaminya. Tangannya mengusap-ngusap bahu lebar Jendra berharap lelaki itu sedikit tenang, karena dari deruan napasnya, Jendra terlihat sangat gelisah.

"Nggak tau, Ay. Tiba-tiba aku nggak suka aroma ayam goreng. Bikin aku mual tahu nggak," jelas Jendra tanpa menjauhkan kepalanya.

"Aduh-aduh, harus banget pelukannya di halaman depan begini ...."

Suara Papi terdengar. Pria paruh baya itu baru saja memasuki gerbang bersamaan dengan Yoga. Entah sejak kapan, dua orang itu terlihat sudah sangat akrab.

Wajah Ayra memerah. Ia malu kepergok oleh Papi mertuanya. Perempuan itu menepuk-nepuk punggung Jendra agar lelaki itu melepaskan pelukannya. Dan berhasil, Jendra melepaskan pelukannya meski raut wajahnya terlihat muram.

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang