Cinta tak melulu harus berkata. Cinta tak melulu harus cakap. Karena cinta, bagaimana cara bersikap.
°°°
Satu atau dua hal memang dilebih baikkan untuk dihadapi dengan begini. Meski Jendra tahu bahwa cara orang dewasa menghadapi masalah bukanlah menghindar, namun ia tak punya pilihan lain.
Apa yang tengah ia lakukan sekarang adalah ruang bagi Ayra. Ruang bagi perempuannya untuk membiasakan diri sebelum akhirnya menerima.
"Ya, masuk," seru Jendra ketika pintu ruangannya diketuk. Detik berikutnya, sekertarisnya masuk dengan langkah yang ... sedikit ragu?
"Pak, email yang saya kirim sudah masuk?"
Jendra mengernyit. Namun tak lama kemudian mendengkus sebal, "Apa Mbak mulai ngeraguin kecepatan internet?" tanyanya tanpa menggunakan kata-kata formal meski ini masih sudah memasuki jam kerja.
"Kuota gue udah sekarat masalahnya." Dera mengimbangi gaya bicara atasannya.
"Belilah. Jangan malu-maluin gue sebagai atasan lo, ya, Mbak," balas Jendra dengan nada sedikit bercanda namun fokusnya kini tertuju pada tab-nya, membuka email dari Dera dan beberapa email lainnya yang masuk.
Dera berdehem. Namun Jendra tak juga mengalihkan tatapannya. Sebelum kembali bersuara, Dera menghela napas.
"Jen, gue ... um ...."
Jendra masih belum menatapnya. Malah kini tangannya terulur untuk mengambil salah satu map yang ada di atas mejanya kemudian membuka isi di dalamnya sebelum akhirnya membacanya dengan teliti sebelum membubuhkan tandatangannya di sana. Begitu terus sampai map kelima.
Setelah itu, tangannya membuka laptop miliknya. Selagi menunggu, matanya kini menangkap gerakan Dera yang duduk dengan gelisah. Aneh. Tak pernah Dera seperti ini sebelumnya.
"Lo kenapa, Mbak?" tanya Jendra seraya me-refresh laptopnya.
"Gue mau makan malam ya ...." Dera sedang memberi pertanyaan atau pernyataan? Mau makan malam? Ya silakan saja. Selama ini, di kantornya tidak ada peraturan jika mau makan malam harus ijin kepadanya. Lalu kenapa Dera mengatakannya seolah-olah meminta ijin?
"Mbak, lo minta ijin ke gue?" Jendra menaikkan sebelah alisnya. Menatap Dera sebentar sebelum fokus pada deretan huruf dan angka yang tertera di layar laptopnya.
Dera menatap Jendra yang tak menatapnya dengan tampang melas. "Masalahnya ...."
"Um ..." Dera menggigit bibirnya. Sedikit ragu untuk mengatakanya. Namun keinginannya harus dituntaskan. "Gue mau makan malam buatan istri lo," cicitnya yang seketika membuat gerakan tangan Jendra yang tengah memegang mouse terhenti.
Jendra menatap wanita yang baru mengakui kehamilannya tadi itu dengan tatapan tak percaya. Kini atensi mata miliknya tertuju sepenuhnya pada sekertarisnya. "Lo bercanda, Mbak?"
Dera menggeleng cepat, "Enggak sama sekali."
"Tapi, Mbak—"
"Jen, plis, ini kemauan baby gue." Dera mengelus perutnya dengan wajah yang benar-benar minta dikasihani.
"Mbak, lo tahu, 'kan?" Jendra menatap Dera dalam, berharap wanita hamil itu mau mengerti.
"Gue yang telepon Ayra deh," tawar Dera seraya menyambar ponsel Jendra yang terletak tepat di samping laptop. Namun dengan cepat Jendra merebut ponselnya. Matanya melotot galak.
"Kenapa harus pakai hape gue sih, Mbak? Katanya mau nelepon sendiri." Ini bukan masalah ponsel siapa yang akan digunakan untuk menelepon Ayra. Bukan. Ini ... tidak sesederhana itu untuk Jendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
LITHE [END]
RomanceApa semuanya akan berjalan dengan baik? Pertanyaan itu yang selalu memenuhi isi kepala seorang Ayra. Setiap hari, setiap ia mengingat kenyataan yang sedang dijalaninya, pertanyaan itu semakin menggila menghantam pikirannya. "Ay, kita harus--" "Aku m...