Lithe | Epilog; Satu Hari Ketika Anugerah Terindah Hadir ke Dunia

1.1K 72 6
                                    

Tidak apa-apa. Tidak apa-apa untuk sejenak tunduk pada sedihmu. Sebab itu hal yang wajar. Sebab dengan begitu, menunjukkan bahwa perasaanmu masih berfungsi dengan baik.

°°°

Ketika pertama kali diberitahu bahwa ada kehidupan di dalam perut Ayra, Jendra tak kuasa menahan tangis penuh harunya. Ada perasaan bahagia yang tak bisa ia jabarkan dengan kata-kata.

Lalu sekarang, setelah sembilan bulan itu berlalu, setelah semua yang telah Ayra lalui bersamanya, susah senang dan suka duka merawat dan menjaga bayi di dalam kandungan Ayra, Jendra merasa hidupnya kini begitu lengkap.

Suara tangisan bayi yang menguar kencang memecah hening di salah satu ruangan pada malam hari, sukses membuat tangis Jendra luruh lebih deras dari saat itu.

Jendra ingat ketika untuk pertama kalinya ia menggendong manusia kecil yang cantik seperti mamanya, ketika itu tangannya bergetar. Bahwa yang ada dalam gendongannya adalah anugerah terindah yang telah dititipkan Sang Kuasa kepadanya dan Ayra untuk dijaga dan dirawat dengan baik.

Dengan bibir yang bergetar, untuk pertama kalinya Jendra mengumandangkan azan di telinga putri kecilnya. Air matanya kembali luruh saat itu.

"Papa, aku mau sekolah kaya Kak Rey."

Suara lucu khas anak kecil membuyarkan lamunan Jendra. Lelaki yang tengah duduk di atas karpet yang digelar di taman belakang rumah itu segera menarik tubuh putri kecilnya agar duduk di pangkuannya.

"Emang kalau sekolah ngapain aja?" tanya Jendra setelah mengecup sebelah pipi putrinya dengan gemas.

Putri kecilnya itu nampak berpikir. Matanya bergulir ke atas, jari jemarinya saling bertaut bersiap untuk menghitung.

"Nggg ... nyanyi, ya, Pa?"

Jendra terkekeh mendengar ucapan putrinya. Sekali lagi, Jendra mengecup pipi yang mengembang itu.

"Iya, dong. Terus apalagi?"

"Berhitung?"

Jendra menjawil hidung kecil putrinya. "Pintarnya anak Papa. Emang udah bisa berhitung?" tanyanya.

Putri kecilnya itu mengangguk semangat. "Bisa!" jawabnya dengan semangat. "Satu, dua, tiga, empat, lima, yeay!"

"Yeay!" Jendra ikut bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi untuk putri kecilnya, anugerah terindah dalam kehidupannya dan Ayra.

"Wah, seru sekali." Ayra datang membawa tepak makan berisi potongan buah. "Mama ketinggalan apa, nih?" tanyanya setelah ikut bergabung di gazebo yang berada di halaman belakang itu.

"Tadi aku berhitung, Ma!"

"Oh, ya?" Ayra berbinar menatap putrinya.

Lalu, perlahan suara Ayra dan putri kecilnya mengabur. Digantikan dengan hangat yang menjalari dadanya. Dua manusia berbeda generasi yang berada di hadapannya saat ini adalah dua orang yang menjadi udara bagi Jendra.

Ayra, perempuan hebat yang tak hentinya ia beri semangat ketika tengah berjuang melahirkan buah hati mereka.

Juga Ayra kecil, yang Jendra bisiki, jadi anak berbakti, Nak, setelah ia mengumandangkan azan. Putri kecilnya, yang ia beri nama Baby Aura Paraduta.

°°°

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang