Menurutnya, mungkin keinginannya sederhana. Namun tidak dengan luka di hatiku. Karena meskipun jika iya sederhana, luka akan tetap berasa nyeri.
°°°
Ayra kembali memasuki ruang baca setelah membereskan meja makan dan mencuci piring. Dirinya menjatuhkan diri pada sofa dengan sedikit kasar, raut wajahnya kusut. Ayra menghela napasnya berat sebelum menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya. Untuk beberapa saat dirinya bertahan dengan posisi itu sebelum akhirnya memasrahkan dirinya pada punggung sofa kemudian memijit pelipisnya.
Kepalanya terasa berat akibat pening yang tiba-tiba melanda. Sulit sekali ternyata mencoba untuk mau berdamai dengan keadaan. Ayra merasa begitu lelah menghadapi kenyataan. Lelah pikiran juga lelah hati. Ingin berteriak saja rasanya, namun tak bisa. Menyesal pun, dirinya tak punya pilihan selain menerima.
Kenapa semuanya tak pernah berjalan mulus? Di saat dirinya sudah mau membuka diri dan hati untuk lebih lapang menerima, di saat dirinya baru saja memulai untuk membiasakan diri, kenapa Jendra harus mempertanyakan sesuatu yang membuat mood-nya hancur seketika.
Ayra merasa bodoh karena sudah mengambil satu langkah tanpa memikirkan konsekuensinya. Ayra merasa dirinya terlalu cepat mengambil keputusan.
Keberatan katanya?
Sungguh, Ayra memang tak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran Jendra. Namun tak bisakah, lelaki itu tak melontarkan pertanyaan konyol seperti tadi?
Mengunjungi Mami adalah salah satu hal yang paling disukai Ayra sejak dulu. Pribadi wanita cantik berhijab yang begitu ramah dan baik itu sungguh membuat Ayra betah berlama-lama dengan beliau. Entah memasak bersama, mencoba resep baru atau sekadar mengobrol ditemani segelas teh tawar dan keripik singkong.
Jadi, sudah pasti Ayra tak akan pernah keberatan. Lagipula, selama ini Jendra sering membawanya ke rumahnya tanpa pernah meminta persetujuannya. Dan Ayra tak pernah marah akan itu. Malah ... Ayra selalu berterima kasih, bersyukur. Ayra merasa beruntung memiliki Jendra dalam hidupnya, yang mengerti tentang dirinya. Mengerti apa yang dirinya butuh.
"Ay?"
Ayra mengalihkan pandangannya pada pintu dan mendapati kepala Jendra menyembul di baliknya.
"Boleh masuk?" tanya Jendra.
Ayra mendengkus. Kenapa Jendra bersikap seperti ini, sih? Ke mana Jendra yang dulu. Ayra merasa tak mengenali sosok Jendra yang baru ini. Terlalu berlebihan.
"Enggak boleh," jawab Ayra cuek. Dan tanpa diduga, Jendra malah tersenyum maklum kemudian mengangguk.
"Oh. Oke."
Ayra segera berdiri membuat gerakan tangan Jendra yang hendak menutup pintu terhenti. Perempuan itu menatap Jendra lekat sampai dirinya kini berdiri berhadapan dengan suaminya setelah membuka pintu lebar-lebar yang sedari tadi menutupi tubuh tegap Jendra.
Cukup lama keduanya bertatapan sampai akhirnya Ayra memutus kontak mata itu dengan pergi keluar sampai-sampai bahunya sedikit bertubrukan dengan bahu Jendra. Tak kencang, namun berhasil membuat bahunya sedikit sakit.
"Besok jam berapa?" tanya Ayra, membuat Jendra memutar tubuhnya.
Kini kedua manusia itu melangkah menuju teras depan dengan Ayra memimpin di depan.
"Ayra?" Bukannya menjawab pertanyaan Ayra, Jendra malah memandang Ayra yang kini tengah duduk di undakan teras paling atas.
"Duduk," titah Ayra seraya menepuk lantai di sampingnya yang langsung dituruti oleh lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
LITHE [END]
RomanceApa semuanya akan berjalan dengan baik? Pertanyaan itu yang selalu memenuhi isi kepala seorang Ayra. Setiap hari, setiap ia mengingat kenyataan yang sedang dijalaninya, pertanyaan itu semakin menggila menghantam pikirannya. "Ay, kita harus--" "Aku m...