Lithe | Perihal Ikhlas

466 51 0
                                    

Karena pada akhirnya, kehilangan karena ditinggalkan untuk selama-lamanya hanya perlu diiringi ikhlas.

°°°

Dalam kurun waktu selama ia bisa mengerti kenyataan di sekitarnya, Ayra lupa kapan terakhir kali melihat Ayah sakit. Bahkan pernah Ayra berpikir, bahwa Ayah adalah manusia paling hebat karena tak pernah mengeluh apa pun.

Dan sekarang, ia dihadapkan dengan Ayah yang sudah tak berdaya. Ia bahkan tak sempat mengatakan kata-kata maaf untuk Ayah.

Rasanya sakit sekali. Ayra ingin menjerit namun tenggorokannya tercekat. Sulit untuk dipaksa mengeluarkan sepatah kata. Maka dengan tubuh bergetar dan air mata yang mengalir lebih deras tanpa suara, Ayra berjalan ke arah brankar di mana ada tubuh manusia yang sudah tertutup oleh kain seluruhnya.

Meski terseok, Ayra tak mau dibantu. Perempuan itu menepis tangan Jendra yang berusaha membantunya. Sementara di samping brankar, ada wanita paruh baya yang menangis hebat.

"A—yah." Ayra tercekat. Perempuan itu mengusap wajahnya. Sekuat tenaga ia menahan air mata yang mendesak keluar dari tempatnya. Dibukanya kain yang menutupi wajah pria yang menjadi cinta pertamanya dengan tangan bergetar.

Seperti mimpi buruk, Ayra menyaksikan sendiri bagaimana wajah pucat pasi Ayah. Perempuan itu memajukan wajahnya, membisikan kata maaf sebelum akhirnya mengecup pipi dan kening Ayah bergantian. Dan Ayra berhasil, ia berhasil menahan air matanya.

"Maafin Ayra, Ayah. Ayra sayang Ayah."

°°°

"Ayah!"

Tubuh Ayra ditarik oleh Mami ketika hendak maju dan nekat menggapai jenazah ayahnya yang dimasukan ke dalam tanah. Perempuan itu masih saja menangis hebat.

"Sayang, yang ikhlas, ya?" Sedari tadi, Mami terus merapalkan kalimat itu. Melihat Ayra yang begitu terpukul seperti sekarang tentu membuatnya ikut sedih.

Ayra memeluk erat tubuh Mami dengan bibir yang terus saja menyebut ayahnya.

Kehilangan adalah satu hal yang pasti terjadi namun tak pernah dihadapi dengan siap oleh setiap manusia. Bagi Ayra, kehilangan Ayah seperti kehilangan sebagian hidupnya. Bagaimana tidak, Ayah adalah segalanya, Ayah adalah rumahnya, tempat ia pulang, tempat melepas segala gundah dan penat, tempat ia mengadu ketika kalah. Ayah adalah rumah berwujud manusia yang kerap merentangkan kedua tangannya untuk memeluk.

Tidak pernah ada yang baik-baik saja ketika ditinggalkan oleh seseorang yang begitu meyayangi kita, pun begitu kita sayangi.

"Ayah ...."

Ayra mengusap nisan Ayah setelah menaburkan bunga di atas gundukan tanah di mana di dalamnya ada Ayah yang sudah beristirahat dalam keabadian. Air matanya kembali luruh meski matanya sudah membengkak.

Rasanya baru kemarin ia digandeng tangannya oleh Ayah untuk menyeberang jalan ketika hendak membeli eskrim di minimarket depan sekolah SD-nya. Rasanya baru kemarin Ayra ditemani Ayah mencari barang-barang yang perlu dibawa untuk kegiatan Pramuka ketika SMP. Rasanya baru kemarin ia mengacungkan kertas berisi nilai ulangan Sejarahnya yang mencapai angka delapan setelah ia belajar semalam suntuk ditemani Ayah ketika ia duduk di bangku SMA. Rasanya baru kemarin Ayah mengantarnya dan memastikan bahwa persyaratan ospeknya tidak ada yang tertinggal satu pun. Dan rasanya baru kemarin ayahnya menjabat tangan Jendra, menyerahkan tanggung jawabnya pada lelaki yang meminangnya dengan begitu tiba-tiba.

"Ay, pulang, yuk?"

Jendra ikut berjongkok di samping Ayra, lelaki itu mengusap bahu Ayra membuat atensi perempuan itu teralih. Wajahnya memerah, matanya membengkak, hidungnya memerah. Bahkan suranya pun sedari tadi terdengar serak dan sumbang.

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang