Lithe | Malam Damai?

418 48 1
                                    

Seharusnya kita berdua bicara. Mengesampingkan ego untuk sebuah kebersamaan. Iya, seharusnya.

°°°

Setelah mengatakan bahwa ia tak ingin Jendra kenapa-napa, Ayra segera pergi. Kembali ke kamar dengan dada yang berdegup disertai gelenyar yang ia sendiri tak mau mengartikannya. Aneh sekali, kenapa rasanya harus semenyakitkan ini kala mendengar Jendra menyebut namanya dengan jelas, untuk pertama kalinya.

Ayra menarik napasnya kuat sebelum mengembuskannya dengan kasar. Rasa sesaknya belum juga menghilang, dan ... ia merutuki hal yang dilakukannya. Itu semua di luar kendalinya. Ayra tak tahu lagi bagaimana caranya.

Bagaimana jika Jendra akan marah?

Bagaimana jika Jendra lebih menjauh?

Bagaimana jika Jendra lebih tak tersentuh?

Ayra memejamkan matanya seraya menyandarkan punggungnya pada tembok di sisi pintu kaca. Ia takut jika apa yang dipikirkannya akan terjadi. Ayra tak bisa membayangkan itu semua. Lalu,

apa ia tetap akan mudah menyapa lelaki itu setiap pagi?

Apa ia tak akan bosan membuatkan segelas susu cokelat meski tak pernah dihargai dengan ucapan terima kasih?

Apa ia akan tetap memberanikan diri mengirim pesan pada Jendra sekadar untuk mengingatkan makan?

Apa ia akan sanggup melihat raut lelah Jendra saat malam—hampir tengah malam namun selalu disiasati dengan tatapan dingin yang menusuk?

Meski Ayra tak tahu akan bagaimana ke depannya kehidupannya ini, akan dibawa ke mana hubungannya sekarang dengan Jendra, namun ia benar-benar ingin Jendra selalu baik-baik saja. Ayra ingin berusaha memulai semuanya dengan caranya sendiri. Ia ingin keadaannya seperti dulu. Ia dan Jendra yang tak seasing sekarang.

Perlahan, tubuh Ayra meluruh dengan kedua tangan yang mencengkeram erat kedua sisi kepalanya yang tertunduk dalam menyentuh lutut. Ingin menangis pun rasanya tak bisa, air matanya sulit keluar. Lalu kemudian, kepala Ayra terangkat dan menggeleng. Perempuan itu bangkit dan kali ini kepalanya mengangguk mantap.

Jawabannya adalah tidak. Ayra tidak akan berhenti melakukan apa yang selalu dilakukannya pada Jendra selama beberapa bulan ini. Ia masih bisa bertahan, dan harus tetap bertahan sampai ... entah sampai kapan. Sampai Jendra sendiri yang menyuruhnya berhenti, mungkin.

Kasih tahu gue cara bilang ke Ayah, Ay.

Ayra duduk di tepi ranjang, meremas selimut kala kembali mendengar suara Jendra di dalam kepalanya. Rasanya obrolan itu tak mau enyah dalam pikirannya. Haruskah ia membenturkan kepalanya pada tembok agar bisa melupakan itu semua? Melupakan apa yang sekarang terjadi pada hidupnya.

"Bilang apa?" Sampai saat ini, Ayra tak mengerti apa yang diucapkan Jendra saat itu. Apa maksud dari perkataan lelaki itu. Memangnya, mau bilang apa?

Apa malam ini saatnya mereka berdua bicara? Iya.

Ayra segera bangun dan membuka pintu kaca penghubung balkon dengan cepat sebelum akhirnya membeku di tempat. Jendra belum merubah posisinya sejak tadi. Kini kedua mata mereka kembali bertubrukan. Lalu, Jendra yang memangkas jarak mereka dengan tiga langkah pertama. Mata hitam legamnya menatap tepat pada manik milik Ayra.

Seperti sebuah adegan film, posisi keduanya diambil dari berbagai sudut dan selalu terlihat pas. Balkon menjadi tempat paling indah saat keduanya kini berdiri hanya dengan jarak tak kurang dari satu jengkal—entah siapa yang memangkas. Karena posisi keduanya sama-sama bergeser dari tempat semula.

"Kenapa, Ay?"

Ayra memejamkan matanya saat mendengar pertanyaan bernada lirih keluar dari mulut Jendra. Nada bicara lelaki itu terdengar begitu frustasi begitu pula tatapan matanya yang sarat akan kebingungan yang luar biasa. Seperti tatapan yang ia lihat di cermin ketika ia menatap dirinya di sana, seperti tatapan miliknya ketika bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang apa maksud dari semua yang terjadi padanya. Namun, apa yang Jendra bingungkan sedalam itu?

Jendra bertanya padanya kenapa, sedangkan seharusnya pertanyaan itu diajukan untuk dirinya sendiri.

"Kenapa?" ulang Ayra pelan. Lalu detik selanjutnya, sudut bibir perempuan itu terangkat sedikit sebelum kembali bersuara, "kenapa, Jen?" tanya Ayra yang mengundang kernyitan samar presensi yang berdiri tepat di hadapannya. Kuasa Ayra terangkat untuk bisa menatap wajah Jendra dengan leluasa.

"Memang seharusnya aku yang tanya, 'kan?" Ayra berjalan maju menuju pembatas balkon, membiarkan Jendra yang masih bergeming di tempatnya.

Untuk beberapa saat Ayra diam. Menghirup udara malam berharap rasa sesak yang dirasakannya sedikit berkurang, berharap gemuruh di dadanya tak begitu hebat. Berharap agar apa pun yang terjadi, ia tak akan menangis—tidak boleh menangis, maksudnya. Maka dari itu, Ayra memilih untuk bungkam sejenak. Untuk menguatkan hatinya, juga memberi waktu pada Jendra untuk berbicara. Berbicara apa pun.

Dua menitnya terbuang. Tidak ada reaksi apa pun dari Jendra. Lelaki itu tetap pada posisinya saat Ayra membalikan tubuhnya. Lelaki itu masih menatap lurus pintu kaca yang sekarang dibiarkan terbuka membuat gordennya terbang-terbang ditiup angin. Ayra memeluk dirinya, melipat lengannya di depan dada. Dalam hati, ia menyesal memilih piyama pendek untuk dipakainya malam ini. Cuaca malam ini lebih dingin dari kemarin.

"Jendra, ayo bicara. Apa pun."

Barulah Jendra berbalik dan tatapan lelaki itu belum berubah. Masih dilanda bingung.

"Kenapa, Ay?" lirih Jendra.

Ayra menggelengkan kepalanya, sepersekian detik dirinya terkekeh samar dengan raut wajah tak menyangka. "Kenapa apanya?" tanyanya tegas. Dagunya sedikit terangkat karena harus mendongak menatap presensi di hadapannya.

Semuanya akan lebih mudah kalau keduanya mau sama-sama mengesampingkan ego untuk saling berbicara. Namun tidak segampang itu. Mereka mempunyai alasan sendiri untuk saling bertanya daripada menceritakan apa yang mereka rasakan.

"Jen, apa yang kenapa?" tanya Ayra lagi, ia masih menunggu jawaban suaminya. Menunggu dengan siap. Siap mendengarkan semuanya, entah itu penyelesaian yang benar-benar akan selesai atau penyelesaian yang gantung. Entah itu akan membuat hidup keduanya saling mengeratkan tautan jemari atau saling membelakangi.

"Tanya ke diri lo sendiri, Ayra."

Ayra memalingkan wajahnya ke arah lain saat dirasakan hatinya mencelos. Tangan perempuan itu terkepal kuat sebelum kembali menatap Jendra yang menatapnya lurus-lurus.

"Kenap—"

"Kenapa kita ada di posisi ini, Jendra?"

Napas Ayra memburu. Ia bertanya dengan nada tinggi setelah memotong ucapan Jendra. Perempuan itu memejamkan matanya sejenak. "Kenapa kamu bawa kita ke keadaan yang seasing sekarang?" tanya Ayra lagi dengan nada lirih di ujung kalimat.

Wajah Ayra sudah memerah namun perempuan itu tak bisa menangis. Dadanya terlanjur sesak, tenggorokannya tercekat. Dan entah kenapa air matanya tak mau keluar. Padahal rasanya sakit sekali.

"Kenapa kamu harus—"

Ucapan Ayra terpotong saat merasakan tubuhnya ditarik ke depan sebelum disandarkan pada sebuah dada yang bidang dan rengkuhan erat di pinggangnya. Ayra hapal sekali hangatnya, hangat dekap milik Jendra yang ternyata tidak berubah. Tetap nyaman dan terasa menenangkan.

"Berhenti bicara, Ay."

Bahkan setelah mendapatkan tempat, setelah diperlakukan lembut, Ayra masih tak bisa menangis. Malah matanya terpejam erat seraya mencoba mengatur deru napasnya agar tenang. Rasanya nyaman. Lihat, lihat bagaimana seorang Jendra begitu mudah mengusir segala sakit yang Ayra rasa hanya dengan sebuah pelukkan, usapan di kepala, juga ucapan bernada lembut.

Semudah itu. Dan Ayra benci. Ia benci ketika ia harus luruh pada semua perlakuan Jendra. Ia benci ketika hatinya sudah bertekuk lutut pada lelaki yang bahkan tak pernah menganggapnya ada setelah mereka berdua berumah tangga.

°°°

LITHE [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang