"Ini rumahku."
Sano mengayun tungkainya menuju akses utama rumah yang disinggahi, meninggalkan wanita yang masih berupaya memahfumi perkataan dari pria itu.
"Rumah keluarga ku tepatnya," ujar sang adam seolah bisa membaca kebingungan yang melanda sosok wanita dibelakangnya.
Gerendel berputar kearah kanan sebanyak dua kali lalu tangan khas pria itu menggeser bilah pintu, "Masuk," ajaknya.
Desain pintu geser shoji memperkuat aksen tradisional bangunan tersebut.
[Name] mengikuti jejak sang tuan memasuki ruangan. Sepatu slip on di buka menyisakan mojah berwarna biru muda yang mengalasi kaki."Keluarga?" kata yang tiba tiba saja terlintas dibenak wanita itu. "KELUARGANYA!?" teriakan kencang yang menggema dalam pikiran membuat [Name] menghentikan langkahnya, liur diteguk kasar membayangkan wajah sedarah Sano Manjirou.
"Tapi rumah ini terlihat sangat sunyi, dimana penghuninya." tetap membatin wanita itu menyidik setiap sudut ruangan yang terlihat begitu bersih dan rapi. Lampu yang tidak menyala serta jendela yang tertutup tirai tebal menyebabkan minimnya penerangan di dalam rumah.
"Sano-san seharusnya kau katakan jika ingin mengunjugi rumahmu, kita bisa membeli buah tangan--"
"Rumah ini tidak berpenghuni."
Sano berbalik menatap wanita yang membuntuti, keduanya berpandangan ditengah gulita."Oh apakah keluargamu sedang berlibur haha." pikiran negatif penuhi otaknya, [Name] terus berusaha menepis dugaan dalam nalar.
"Seluruh keluargaku telah tiada."
Duri kecil bagai menusuk sanubari,
Semakin mengenal Sano maka kelukur dalam jiwa pun kian membesar. Menyedihkan, pria itu sangat menyedihkan hingga membuat [name] ingin merengkuh lalu mendekap sakitnya."Maafkan aku." kepala ditarik menunduk pada pria dihadapan.
Sungguh, Sano tidak paham mengapa wanita itu harus mengucapkan kata maaf. "Angkat kepalamu," serunya.
[Name] menuruti, netranya memandangi punggung yang bergerak menjauh lalu diikuti sebelum kehilangan jejak. Wanita yang biasanya banyak mengoceh kini hanya diam, sesekali melirik ruangan yang dilewati.
Lagi, pintu shoji dibuka oleh Sano mengundang cahaya matahari untuk masuk menerangi. Pijakan berubah menjadi kayu, koridor luar yang disebut engawa menjadi tempat keduanya bersemayam.
"Rumah ini terlihat sangat terawat walau tidak berpenghuni," celetuk [name], ia duduk disebelah Sano secara seiza, yaitu dengan meletakan lututnya di lantai sehingga kaki terlipat kebelakang. Kemudian bokong diistirahatkan di atas kaki.
Wanita itu terlihat amat feminin.
Sedangkan pria disamping duduk berjuntai, kakinya menggantung dan tangannya bertumpu kebelakang."Aku meminta orang untuk merawat rumah ini setiap bulan," jelas Sano.
"Pengangguran yang punya banyak uang," batin [Name], ia masih saja penasaran darimana datangnya pundi pundi uang milik pria disebelahnya.
"Kau merawat rumah ini tetapi tidak menempatinya?"
Lelaki itu diam, mulutnya terkatup dalam beberapa detik. "Kenangan di rumah ini membuat dada ku sakit ... Sunyi, hanya ada diriku si pen--"
"Cukup, aku mengerti, " potong [name]. Ia yakin fraksi fraksi memoar bersama keluarganya yang tersisa di tempat itu sangat menyiksa Sano, wanita itu mengutuk dirinya yang tidak cepat tanggap membaca situasi.
"Lalu apa tujuan Sano-san membawaku ke rumah ini?" tanya sang hawa seraya menatap adamnya.
Sano memusatkan atensi pada [Name], iris hitam merinci setiap pahatan wajah wanita itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whalien | Sano Manjirou
FanfictionWhalien adalah metafora yang sempurna untuk menggambarkan sosoknya, Sano Manjirou. "I'm the whalien and you are the ocean." "Sano-san." Tatapan mata yang kosong seakan lelah dengan kehidupan.