"Tuan muda."
Sach tersentak mendengar suara itu. Ia melihat sekeliling dengan cepat lalu menemukan seekor beruang berbulu putih dengan sapuan keemasan yang berdiri dengan empat kakinya di samping pintu tempat Sen keluar tadi. Beruang itu menatapnya dengan tatapan tenang. Ekornya yang mengembang itu terlihat seakan terbakar oleh cahaya yang keluar dari tubuhnya sendiri.
"A... Aku—"
"Begitukah?"
Belum sempat Sach menyelesaikan ucapannya, beruang itu memotongnya dengan pertanyaan yang sama sekali tak Sach ketahui maksudnya. Alih-alih balik bertanya, Sach malah menatap bingung si beruang.
"Begitukah aku harus memanggilmu? Tuan muda?" Polar menjawab tatapan bingung itu dengan tenang. Ia tak sekalipun melepaskan tatapannya dari laki-laki yang sejak beberapa saat lalu resmi menjadi belahan jiwanya yang lain— walaupun secara harfiah, jiwa Sach sama sekali tak berhubungan dengan Polar, tapi karena laki-laki ini mengaku tak memiliki bintang penjaga, artinya Sen harus rela membagi penjaganya dengan saudara kembarnya.
"Ah, aku, itu— iya, maksudku, tidak! Tolong panggil saja aku Sach."
Sach menjawab gugup. Beruang yang tidak dia ketahui namanya itu, sekalipun memiliki pengendalian emosi yang sangat baik tapi tak kalah tajam dari saudarinya.
Sementara Sach yang masih mengamati Polar secara terang-terangan, Polar sendiri mencoba menyembunyikan helaan napas pendeknya dan perlahan berjalan kearah Sach.
"Makan makananmu, habiskan itu. Sen akan marah kalau kau menyisakannya."
Polar mengambil posisi duduk di lantai samping kursi yang diduduki Sach. Ia memejamkan matanya tanpa melakukan apapun setelahnya. Membuat Sach paham jika ia harus menghabiskan makanan yang sejak tadi sudah tersaji di depannya.
Tak ada pembicaraan diantara mereka setelahnya. Sach yang fokus dengan makanannya, dan Polar yang sedang mencoba mengatur kembali fokus pikirannya.
Mereka berdua terdiam cukup lama. Hanya suara dentingan sendok dan pisau yang terbentur ke piring atau saling membentur satu sama lain lah yang mengisi keheningan. Tak lama, suara itu juga perlahan hilang, menandakan jika si pemakai alat sudah selesai dengan makanannya.
Sach melirik kearah Polar lagi. Beruang itu belum melakukan apapun, sampai Sach pikir dia tak sengaja tertidur. Laki-laki itu menghela napas sepelan yang ia bisa. Walaupun sejujurnya dia sangat ingin mendecak karena sedikit kecewa. Tapi geraman pelan yang kemudian muncul dari mulut si beruang tak lama setelahnya, membuat Sach tak kuasa menahan matanya untuk tak membola. Bersamaan dengan Polar yang perlahan membuka matanya, dengan itu pula Sach perlahan menerbitkan senyum kecil di bibir sewarna darahnya.
"Ada yang mau kau katakan?"
Sach mengangguk antusias mendengar pertanyaan Polar. Dari seluruh makhluk yang hidup di kapal angkasa besar ini, hanya Polar satu-satunya harapan Sach untuk bertanya banyak hal.
"Katakan saja."
Sach menghela napas panjang, bersiap untuk menanyakan berbagai hal yang selama— entahlah, tiga atau empat hari mungkin?— ia pendam kuat-kuat karena tak berani berbicara.
"Eum, kita akan kemana?"
"Konstelasi—"
"Eh, tidak! Maksudku, kita ada dimana sekarang?"
Polar melirik Sach sinis. Sedikit berpikir bagaimana karakter sebenarnya bintang di hadapannya ini.
"Konstelasi Camelopardalis, dan akan segera menuju ke Konstelasi Cassiopeia."

KAMU SEDANG MEMBACA
le centième | Lee Jeno
Hayran Kurgu[ featuring Jeno of NCT DREAM ] • [ 𝐰𝐞 𝐰𝐢𝐥𝐥 𝐞𝐱𝐩𝐥𝐨𝐫𝐞 𝐭𝐡𝐞 𝐮𝐧𝐢𝐯𝐞𝐫𝐬𝐞, 𝐰𝐢𝐭𝐡 𝐭𝐰𝐨 𝐬𝐨𝐮𝐥𝐬 𝐛𝐨𝐮𝐧𝐝 𝐭𝐨 𝐤𝐢𝐥𝐥 𝐞𝐚𝐜𝐡 𝐨𝐭𝐡𝐞𝐫 ] Polaris berpesan, "jangan mempermalukan ku, karena kalian membawa namaku" Maka perang...