13. Sihir di Rooftop

15 5 0
                                    

Kau tidak mengakui, bahwa adanya mereka, hidupmu lebih bewarna.

~

Kabut putih menyulitkan untuk melihat, kehidupan yang terbilang hangat, membuat suasana seakan kembali ke dunia nyata. Bahkan, tak ada tanda-tanda pagi ini, penduduk sekitar menggunakan sihir mereka.

Semua tampak biasa, normal, seperti kehidupan di dunia aslinya. Banyak pejalan kaki berlalu-lalang, tidak membawa tongkat sihir, jarang pula pagi ini terlihat orang berkendara menggunakan skateboard.

Ini adalah hari yang menyejukkan hati, hari yang baru pertama kali Lula rasakan di dunia ini. Padahal, sudah dikatakan oleh Pak Tetua kepadanya, ketika ia keluar kamar. Dikabarkan, hari ini ialah hari yang datang ditiap bulan, musim gugur dan datangnya kabut putih. Bagi mereka semua, penduduk dunia sihir, cuaca seperti ini adalah hal biasa. Tetapi, tidak bagi Lula.

Decakan kagum cara berinteraksi dan beraktivitas, terus keluar dari bibir pink alami Lula. Kenn dan Avi yang sedang berada di dekatnya, sudah terlalu bosan, walau baru pagi ini kedua lelaki tersebut mendengar kata sanjungan dari Lula. Tetap saja, sangat membosankan.

Lula, gadis itu merentangkan kedua tangan, membiarkan angin menyentuh tubuhnya. Rambut bergelombang bawah bewarna cokelat itu menerpa ke belakang, mengenai wajah datar Avi yang berdiri di belakangnya. Kenn berada tak jauh dari mereka berdua. Lelaki itu duduk diatas tembok pendek, mengarahkan pandangan pada pemandangan dunia sihir.

Mereka berada di rooftop salah satu gedung tinggi di sebelah gedung Professor Geo, gedung ini dijadikan toko penjual tongkat sihir. Sama halnya, terlihat kuno dan klasik. Area luas, tak ada hiasan apapun di sini, polos dan sederhana. Menunggu datangnya Frea, melihat-lihat keindahan walau ditutupi kabut, kecuali Avi.

Avi Raymond, ia berjalan mendekati Kenn. Duduk di sebelah Kenn, di tembok pendek sebagai pembatas agar tak jatuh ke bawah, jauh, gedung ini terlalu tinggi. Kedua lelaki ini tampak diam, tidak ada percakapan diantara mereka. Saat ini juga, mereka berdua hanya mengenakan kaos dan celana jeans, alas kaki tetap saja sepatu boot. Sedangkan Lula, dia menggunakan mantel, celana jeans panjang dan menggunakan sepatu boot pula.

Ada jarak antara Avi dan Kenn, Lula memutuskan bergerak dan duduk di tengah. Walau jantungnya berdetak karena ketakutan gedung yang tinggi, melihat bawah membayangkan jika ia jatuh, pasti langsung mati, tidak dibiarkan sekarat menahan sakit.

“Kenapa kau mendekat?” tanya Kenn, lelaki itu menatap Lula penuh keselidikan.

Lula menoleh ke samping kanan, tempat Kenn duduk di sebelahnya, kemudian dia menyengir lebar. “Kenapa? Kau tak mau dekat denganku? Kau lupa kalau semalam kau menggendongku, itu sama saja dekat, bukan? Bahkan, dekat sekali,” jawab Lula, Kenn mengangguk diam.

Tidak ada jawaban lagi dari Kenn, Lula merasa bosan. Dia menoleh ke arah kiri, menatap Avi yang tampan dari samping. Lihatlah, Avi sama sekali tidak berniat membalas tatapannya. Kesal tak dianggap, Lula pun menyikut lengan Avi, membuat Avi terlonjak kaget dan nyaris terjatuh ke bawah dengan daratan yang jauh.

“Eh?!” sentak Lula, ikut terkejut kala Avi hampir melompat ke bawah sana.

Avi melototkan mata, dia berbalik badan dan turun dari tembok pendek itu. Berdiri tegap di rooftop, ingin sekali kedua tangannya ini mendorong Lula dari belakang, dan membuat gadis itu mati.

Kenn menghela napas, dia juga melakukan hal yang sama, berbalik badan kemudian berdiri, berjalan menyusuri rooftop ini. Lula berbalik, mendelik kaget melihat tatapan mata tajam seperti elang gagah mengarah padanya. Turun, Lula mendekat ke Avi.

Live In The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang