06. Pak Tetua dan Percakapan Dari Lula

15 4 0
                                    

Makanan Aneh Dari Istana Kuno.

Gadis cantik itu berjalan bak pemimpin gagah yang ditemani para kesatrianya. Deretan lelaki yang diduga adalah teman-teman Kenn, di depan ada Professor Geo, Pak Tetua dan William di samping kanan. Paling belakang, ada pengawas istana mengenakan pakaian bercorak warna cokelat, memegang tongkat sulap mereka. Semua menggunakan mantel dan kacamata multifungsi. Lula cukup tersanjung dengan keindahan ruangan besar ini, juga penjagaan ketat untuk keluarga Pak Tetua.

Lula berjalan dengan kedua tangan berada di belakang cardigannya, seperti posisi istirahat upacara di sekolah. Tak ada lagi tali bercahaya itu, ikatan kencang hanya menyisakan bekas dipergelangan tangan Lula. Tidak henti-hentinya pula sorot mata Lula untuk berhenti bergerak, tak bisa diam, dia sangat terpesona dengan apa yang diciptakan oleh dunia ini, dunia sihir.

Kenn, lelaki itu memandangi pergelangan tangan Lula yang sedikit kemerahan. Sambil berjalan, walaupun benci kepada Lula, jujur saja hatinya begitu bersimpati, kasihan akan nasib yang Lula hadapi karena takdir. Avi sama sekali tidak peduli, dia cuek, bahkan baru beberapa jam saja dia sudah muak melihat wajah Lula. Sedangkan Frea, dia diam-diam mengamati Lula, ekspresi wajahnya tidak dapat ditebak, begitu pula tindakan Frea.

Frea Armada, seperti arus sungai yang tenang dan diam. Dibalik topeng seperti itu, dia dapat menenggelamkan segala hal. Bentuk arus yang tersembunyi tak dapat ditebak akan melenyapkan siapa. Frea, dia diam karena sedang mencari taktik permainan yang bagus.

“Ini ruang utama, kedatangan tamu dari manapun selalu kami hormati dan layani sebaik mungkin. Tamu terakhir dari dunia Lula, adalah kedua orangtuanya, itupun sudah—”

“Belasan tahun silam,” cibir Lula menatap datar Pak Tetua di depannya yang sengaja menoleh ke arahnya saat bicara.

“Bertingkahlah sesopan mungkin, ini bukan duniamu. Kami bisa membunuhmu dalam hitungan detik saja.” William berbisik pada Lula, suara serak juga berat itu seakan menghantui dirinya.

Berdiri di belakang tiga lelaki, Lula maju ke depan mendekat William saat lelaki itu menjauhkan bibirnya dari telinga Lula setelah berbisik tadi. Lula menendang kaki William sekuat mungkin, sepatu boot itu beradu membuat William refleks menoleh dengan tatapan sinis.

Pikir Lula, lelaki itu akan meringis kesakitan, namun salah. William tetap diam memandanginya, langkah seseorang yang baris di depan hingga belakang terhenti karena interaksi William dan Lula.

“Jangan kekanakan, jika kau berani melawan sekali lagi, kupastikan kau pingsan selama tiga puluh tahun,” ucap William.

Lula tidak terkejut, perkataan dari dunia ini terkhusus dari William dan Kenn sudah membuatnya terbiasa walau hanya beberapa jam terakhir. Lula mengangkat dagu, menatap William angkuh.

“Oh, ya?” tanya Lula, jari telunjuknya mendorong pundak William seperti yang dilakukan Kenn padanya saat di depan tadi.

“Kenapa aku tidak pingsan?” herannya.

“Apa aku kurang melawan?” lagi, dia heran akan mengingat perkataan dari William. Padahal, William bahkan manusia lainnya di sini bisa menyihir Lula kapanpun itu.

Sabar.

Menahan amarah.

“Kau mau kepalamu dipenggal dan disulap menjadi matahari di dunia ini?” suara berat Avi membuat Lula diam tidak berkutik lagi. Sedari tadi Avi diam bukan berarti tak kesal dengan tingkah Lula, gadis gila menurutnya.

Merasa suasana canggung, Pak Tetua memutuskan untuk berjalan lagi. Hari sudah menggelap, perlahan-lahan cahaya sinar dari berbagai macam ramuan sihir dapat terlihat pada langit hitam, cahaya rembulan yang dihiasi bintang-bintang putih dapat memancarkan pesona indah sosok Lula dari dalam istana kuno ini.

Live In The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang