16. Lantai Dua

13 4 0
                                    

William berjalan menyusuri lorong Istana di lantai paling atas, bertemu dengan Lula dan mengajak perempuan itu untuk mengobrol bersama. Malam semakin larut, gadis berbalut pakaian tidur yang kebesaran di tubuhnya, rambut panjang tidak tertata rapi.

Bahkan bibir pink alami itupun selalu bergerak mengeluarkan ocehan untuk sosok lelaki di sebelahnya, William. Lelaki dewasa yang ia temukan pertama kali di dunia ini lewat lukisan.

Selama tinggal di sini, di dunia sihir, Lula akui, tempat tinggalnya ini sama seperti apa yang ada di buku dongeng yang ia baca. Jendela besar tanpa penutup, hanya ada pembatas tembok pendek agar tak jatuh ke bawah, membuat angin malam kencang berlomba-lomba menerpa tubuh dua manusia yang kini sedang berdiri.

Melihat keindahan gedung dan rumah penduduk, cahaya warna menerangi, bulan dan bintang pun menjadi saksi bahwa semua ini, benar-benar diluar dugaan, sangat mempesona.

Kedua tangan William berada di tembok pembatas itu, ia mengenakan mantel bewarna biru dibiarkan terbuka, memperlihatkan dada bidangnya, juga William mengenakan celana pendek bewarna hitam. Lula tidak tersihir dengan apa yang ada pada diri William, walaupun Lula mengakui William lebih tampan dari pada adik lelakinya, Kenn.

Lula menyenderkan tubuh pada tembok pembatas, ia mengarah ke ruangan besar yang ada di depannya. Sedangkan William mengarah depan, melihat dunia sihir yang luas.

“Apa yang ingin kau bicarakan padaku?” tanya Lula, seraya memainkan kuku jari tangannya.

“Kenn memberi informasi, kalau sebentar lagi adalah hari ulang tahunmu,” tutur William, ia beralih menatap Lula. Gadis itu masih saja sibuk dengan kukunya.

“Ya, terus? Apa hubungannya dengan—”

“Tepat tengah malam, pergantian hari dan tanggal. Aku ingin kau menggunakan gaun yang sudah disiapkan untukmu,” potong William datar.

Lula menghentikan aksinya, ia membalas tatapan William sembari memperlihatkan raut wajah bingung. “Untuk apa? Kau akan menikahiku 'kah? Yang benar saja, aku tak mau menikah denganmu, lagi pula aku masih muda. Tidak pantas menikah dengan lelaki tua sepertimu,” gerutu Lula.

“Dan kau adalah kakek moyang, tua sekali dirimu,” lanjutnya santai.

William menggeram sejenak, ia berusaha tersenyum walau sedikit terpaksa. Menarik napas panjang, kemudian ia embuskan perlahan, sabar menghadapi Lula. Seperti apa yang Pak Tetua katakan pada Frea, harus bersabar dengan perilaku Lula. Jangan mudah emosi.

“Merayakan hari ulang tahunmu,” jawab William.

Lula terdiam, ia teringat dengan Kylie, sahabatnya. Kylie pernah berkata bahwa ketika ia berulang tahun yang ketujuh belas, Kylie akan memberikan sapu lidinya. Bermain bersama, mengkhayalkan sapu lidi bisa terbang. Dan Kylie akan mengipaskannya gunakan kipas sate dari rotan yang biasanya digunakan untuk mengipasi panggangan. Sialan, Lula tidak bisa untuk melupakan segala hal yang ada di dunia yang dulu secepat mungkin.

“Ya, kalian juga akan merayakan acara resmi untuk aku tinggal di sini selamanya,” balas Lula menerawang.

Ia menatap langit malam, tatapannya kosong. Memori dalam ingatannya kembali berputar, betapa serunya bermain bersama Kylie si perempuan bermulut pedas itu. Si perempuan yang peduli, sering membantu dirinya dalam situasi apapun. Kylie juga pribadi pendengar yang baik, mendengarkan setiap kali Lula bercerita kala Ibunya pergi ke pasar di ujung desa.

Ia juga rindu suasana desa, setiap pagi terdengar suara ternak penduduk dan anak kecil bermain. Ia rindu kamarnya, ruangan kecil yang mampu membuatnya nyaman, ruangan yang menjadi saksi betapa rindunya ketika ia mengingat sosok Ayah. Ruangan yang menyimpan kenangan tentang dirinya, tangis dan tawa, semuanya.

Live In The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang